“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Selamat Datang di Blog Resmi Arif Rahman Maladi.

Bersama berbagi untuk generasi.

Senin, 16 Februari 2015

MOMENTUM DIBALIK PUTUSAN SARPIN



Oleh:
Arif Rahman Maladi, S.H., LL.M[1]
Dosen Hukum Tata Negara FH Unram dan Direktur Pusat Kajian Hukum dan
 Otonomi Daerah (PuSaKa OTDA )


 Pasca putusan hakim sarpin pada sidang praperadilan Komjen (Pol) Budi Gunawan, episode dunia hukum dinegeri ini seolah memasuki fase baru. Diluar dugaan banyak pengamat dan pakar hukum dinegeri ini, Hakim Sarpin seolah menunjukan kebebasannya untuk memutus perkara berdasarkan amanat kekuasaan kehakiman yang diberikan kepadanya dengan cara mengabulkan sebagian gugatan pemohon , khususnya terkait penetapan tersangka oleh KPK terhadap Komjen (Pol) Budi Gunawan tidak sah.  Hakim Sarpin seakan menorehkan sejarah dengan membuat yurisprudensi  terkait perluasan kewenangan hakim mengadili perkara dengan perluasan penafsiran dan  penerapan hukum (Judex Juris) pada kasus ini.
                Pada dasarnya praperadilan adalah sebuah proses hukum yang diberikan oleh Negara dalam rangka melindungi hak-hak tersangka bilamana dalam proses hukum ditemui adanya indikasi terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh aparat penegak hukum. Perlindungan ini bertujuan agar dalam proses penegakan hukum bisa berjalan sesuai dengan rule of game hukum positif yang berlaku.  Jika mengacu pada Kitab  Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), obyek praperadilan telah diatur secara limitatif (terbatas) yakni hanya mengacu pada Pasal (1) angka 10 dan pasal (77) KUHAP yakni mengatur mengenai sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. Demikian pula, keabsahan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Seperti diketahui dalam putusannya, Hakim Sarpin memperluas obyek limitatif praperadilan pasal 77 KUHAP bahwa status tersangka dapat dimasukan dalam obyek praperadilan dengan konstruksi bahwa dalam proses penetapan tersangka ada upaya paksa. Dalam hukum positif, perluasan penafsiran hakim pada dasarnya merupakan bagian dari kewenangannya berdasarkan Konstitusi pasal 24 UUD NRI 1945 dan  Undang-Undang Kekuasaan kehakiman dalam menjalan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Hakim diberikan ruang untuk memiliki kebebasan menafsirkan dan berpendapat (vrije gebondenheid). Tidak salah memang ketika hakim memberikan tafsiran lebih luas selama mampu membangun konstruksi hukum yang relevan dan logis dengan tidak mengesampingkan asas legalitas yang berlaku di Indonesia.

Momentum dibalik putusan  

Perdebatan hukum pidana sejak bergulirnya kasus ini didominasi perdebatan mengenai perluasan tafsiran obyek praperadilan yang diatur oleh KUHAP. Padahal jika dicermati, disisi lain ada hal menarik yang perlu diperhatikan dan dapat dijadikan sebagai momentum positif bagi perjalanan penegakan hukum di negeri ini. Pertama, Putusan ini seakan ingin memberikan gambaran kepada bangsa ini bahwa proses penegakan hukum masih terkontaminasi dengan faktor-faktor diluar hukum. Hakim Sarpin seakan memberikan teguran kepada KPK, untuk memperbaiki prosedur penegak hukumnya yang selama ini berjalan. KPK bukan lembaga yang diisi oleh malaikat-malaikat suci yang tak luput dari salah. Kesaksian Hasto mengenai lobi politik  Abraham Samad (Ketua KPK) bukan tidak mungkin memperkuat keyakinan hakim bahwa dalam penetapan ini terindikasi adanya konflik kepentingan. Tentu ini dapat dijadikan sebagai sebuah teguran berharga bagi KPK dalam upaya mengevaluasi prosedur penegakan hukumnya, sehingga kedepannya KPK bisa berjalan lebih baik lagi dan tidak ada konflik kepentingan (conflict interest).  Dan perlu dipahami putusan ini bukanlah akhir dari segalanya, meskipun ada preseden perluasan obyek praperadilan dalam kasus ini, bukan berarti tidak Komjen (Pol) Budi Gunawan bisa kembali ditetapkan sebagai tersangka. KPK hanya tinggal memperbaiki prosedur dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang belum dipenuhi sebelum menetapkan kembali Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai tersangka.    
Yang kedua, Publik atau masyarakat dapat menilai secara langsung bagaimana institusi penegak hukum secara fair. Dinamika kisruh KPK – Polri yang selama ini telah banyak menyita perhatian pubik memberikan gambaran bagaimana keteladanan kedua institusi dalam penegakan hukum. Mangkirnya para perwira tinggi polri dari panggilan KPK, Pelanggaran HAM penjemputan paksa/penangkapan Bambang Wijayanto (BW) dan upaya kriminalisasi seluruh pimpinan KPK dapat menjadi penilaian mana institusi yang memang perlu dibenahi dan mendapat perhatian serius dalam program revolusi mental ala presiden Jokowi.
Yang Ketiga, sudah saatnya para pakar dan ahli hukum di Negara ini mulai memikirkan bagaimana membangun Negara hukum ala Indonesia ini dengan memadukan konsep Rule of law dan Rule of ethic. Cerita dibalik lobby politik ketua KPK Abraham Samad versi Hasto hingga cerita mengenai keterlibatan Jenderal Polisi aktif Budi Gunawan dalam politik praktis bersama PDI Perjuangan pada saat Pilpres lalu harus segera dibuka kepada publik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi di tubuh kedua institusi ini.  Ironi tentunya, jika berbicara penegakan hukum dengan mengesampingkan upaya penegakan etik yang merupakan marwah dari upaya penegakan hukum yang bersih dan berwibawa.
Terakhir, perlu diwaspadai bahwa putusan ini akan membawa dampak laten bagi sistem hukum di Indonesia , dan dikhawatirkan akan memperberat proses penegakan hukum di negeri ini. Bukan tidak mungkin para tersangka baik yang ditetapkan oleh kejaksaan, polri ataupun KPK kini bersiap berbondong-bondong mengajukan praperadilan dengan terbukanya celah obyek praperadilan baru terhadap penetapan tersangka. Terdapat peluang besar terjadi pelemahan proses penegakan hukum di negeri ini khususnya pada pemberantasan korupsi. Disisi lain, KPK selaku lembaga yang diberikan amanah besar memberantas korupsi akan semakin menghadapi perlawanan extraordinary dari para penjahat kerah putih di negeri ini. Bagaimana tidak kini para penyelenggara Negara atau bahkan elite politik yang menyandang status tersangka sudah  mencium peluang mengajukan praperadilan terhadap penetapan tersangka yang telah dilakukan oleh institusi penegak hukum. 

SAVE KPK, SAVE POLRI.


               


[1]

Jumat, 02 Januari 2015

“SUDAH SELAYAKNYA KOMITE KLS DIEVALUASI DAN DIROMBAK”

Sebuah catatan Refleksi DOB KLS


Oleh : Arif Rahman Maladi., S.H., LL.M
Dosen Hukum Tata Negara FH Unram dan Inisiator Peninjauan Kembali KLS

“Idealnya pimpinan komite pemekaran Kabupaten Lombok Selatan (KLS) diisi oleh kalangan akademisi yang juga bagian dari masyarakat lombok selatan itu sendiri, sebagai langkah agar pemekaran DOB ini dapat bernilai obyektif dan meminimalisir unsur politik yang ada. Karena saya menilai jika komite dipimpin dari unsur partai  dan elite politik jelas akan berpotensi pada conflict of interest didalamnya.”




Usulan pemekaran Lombok selatan hingga kini memang masih dalam proses di legislatif.  Berbagai macam spekulasi mengenai pengesahan pemekaran Lombok selatan pun saat ini bermunculan. Terakhir, 50 anggota DPRD Lombok timur periode 2014-2019  membuat persetujuan bersama sebagai sebuah langkah memberikan legitimasi penuh rakyat terkait pemekaran daerah kabupaten Lombok selatan.

Jika melihat perkembangan terkini pasca pemilu, perlu dipahami bersama bahwa perubahan konstelasi politik pada level pusat jelas berbeda dengan konstelasi politik sebelumnya  maka bisa jadi political will pemerintah kini tentunya berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Sebagai seorang akademisi dan putra daerah di kecamatan mt.gading, saya tetap melihat urgensi pemekaran ini memang masih harus dipertimbangkan matang dan mengedapankan  prinsip kehati-hatian. Marwah pemekaran untuk kesejahteraan rakyat harus menjadi rekonstruksi kita berpikir. Jangan sampai pemekaran yang seharusnya baik untuk masyarakat kemudian balik menjadi boomerang yang merugikan bagi masyarakat itu sendiri.

Saya menyarankan kepada Bupati Lombok Timur sebagai tokoh yang terkenal progresif  untuk segera mengambil sikap terhadap hal ini. Bupati Lombok Timur sebagai pimpinan tertinggi di Lombok Timur harus mengambil langkah berani mengevaluasi pemekaran ini. Artinya beliau harus menempatkan diri untuk mengakomodir pro dan kontra di masyarakat mengenai pemekaran Lombok Selatan.

Sebagai inisiator peninjauan kembali pemekaran,  saya berharap penuh komite Lombok Selatan segera dievaluasi dan dirombak sehingga bisa lebih efektif bekerja untuk masyarakat. Menurut saya, Idealnya ketua komite dipimpin oleh unsur akademisi yang juga bagian dari masyarakat lombok selatan itu sendiri, hal ini harus dimaknai sebagai langkah kita  bersama agar rencana  pemekaran DOB ini dapat bernilai obyektif dan meminimalisir unsur politik yang ada. Karena saya menilai jika komite dipimpin dari unsur partai  dan elite politik jelas akan berpotensi pada conflict of interest didalamnya.

Unsur berikutnya tentunya perlu melibatkan tokoh-tokoh masyarakat baik tokoh agama dan sesepuh  di delapan kecamatan dan unsur tokoh masyarakat di Lombok timur diluar delapan kecamatan rencana KLS. Organisasi dan tokoh –tokoh pemuda di Lombok timur juga penting untuk diperhatikan, lebih-lebih kini pengurus KNPI yang baru sudah terbentuk dan berbagai organisasi kepemudaan lainnya seperti Komite Pemuda Lombok Timur (KPL) yang baru-baru ini mendeklarasikan diri jika bisa dimasukan mengawal pemekaran. Selanjutnya dari kalangan LSM juga perlu dilibatkan,  tapi tentunya LSM yang memang terbukti independen dan punya kualitas bukan oknum LSM abal-abal yang banyak bergentanyangan akhir-akhir ini.

Jika hal ini diakomodir, saya yakin perspektif mengenai urgensi pemekaran Lombok Selatan outputnya akan lebih baik dan jikapun kelak pemekaran terwujud hasilnya akan memberikan dampak positif bagi masyarakat Lombok Selatan. Saya sebagai inisiator Peninjauan kembali pada dasarnya ingin memberikan penekanan pada perbaikan rencana pemekaran, kalau memang sudah layak maka kita akan dukung dengan penuh hati, jika belum, tentu kita akan memilih opsi untuk mempertimbangkan kembali upaya pemekaran ini. Sebelum nasi menjadi bubur, maka layak kiranya hal ini dipertimbangkan sebagai sebuah alternatif mencari solusi yang terbaik.

Upaya ini adalah sarana kita bersama bagaimana membangun Lombok timur menjadi lebih baik dengan menempatkan kesejehteraan rakyat sebagai prioritas utama bukan mengedapankan oligarkis oknum-oknum elite politik yang ingin berkuasa dan mensejahterkan kelompoknya saja. Tentunya tidaklah haram ketika rakyat menggugat komite Lombok Selatan yang selama ini dikenal kurang transparan dan terbuka terhadap publik terhadap kinerjanya.



Selasa, 04 Februari 2014

Sembilan Kali Pergantian, Kurikulum 2013 yang Terbaik

Suara NTB, 2 Februari 2014

SEJARAH Pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari fakta pergantian kurikulum. Terhitung sejak era kemerdekaan hingga saat ini, sudah terjadi sembilan kali perubahan kurikulum. Dari semua konsep tersebut, kurikulum 2013 dinilai Yanis Maladi, sebagai kurikulum terbaik. Alasannya, karena kurikulum ini meletakkan paradigma Succsessfull Inteligent (SI) yang tujuannya mengubah parad mengubah paradigm kecerdasaan manusia, dari konsep konvensional yang mendewakan kemampuan akademik kearah pentingnya pada ukuran kecerdasan peserta didek pada penanaman SI.

Hal ini dinyatakan Yanis Maladi kepada Suara NTB, Kamis (30/1). “Kurikulum 2013 ini paling canggih,” ucapnya dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. Dalam kurikulum 2013 ini tidak saja menjadikan anak pintar. Tapi lebih ditekankan pembentukan akhlak dan sikap. Isi materi pelajaran yang diajarkan di sekolah mengembangkan pendidikan emosional atau soft skill barulanjutkan pengembangan hard skill (pekerja yang baik).Dalam pendidikaan karakter harus mengunggulkan kecerdasan emosional (EQ) ada pada 80 persen berkontribusinya, baru sisanya 20 persen pada keberhasilan seorang di dunia kerja (hard skill).

Dalam soft skill lebih focus pada rancang banguanan emosionla yang identik dengan esensi penanaman iman, ketakwaan, sikap dan budi pekerti pada siswa. Selain itu, ditanamkan kearifan lokal (local wisdom) yakni budaya yang melekat dan asli ditengah masyarakat (Indigineous People Culture).

Ia menguraikan, kurikulum pertama pendidikan Indonesia digagas sejak tahun 1947 sampai dengan tahun 1950 bangsa kita membuat rencana pelajaran (learn plan) yang disempurnakan menjadi Rencana Pelajaran Terurai (RPT). RPT selanjutnya dikenal dengan kurikulum 1952 yang substansinya yang terakhir ini memang lebih terurai khususnya menyengkut bahan ajar yang sekarang kita kenal dengan silabus pengajaran.

Kurikulum yang lahir dua tahun pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ini memakai istilah bahasa Belanda leerpian artinya rencana pelajaran. Istilah itu lebih populer dibanding istilah curriculum dalam istilah bahasa Inggriskarena masih dalam suasana perjuangan. Pada masa ini, pendidikan lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia merdeka, berdaulat, dan sejajar dengan bangsa di muka bumi ini. Fokus Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pendidikan pikiran, melainkan hanya pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajaran di hubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

Kurikulum RPT ini hampir tiga belas tahun diberlakukan. Selanjutnya di tahun 1964 dikembangkan rencana pendidikan yang ditekankan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan pendidikan moral. Salah satu latarbelakang dikembangkannya rencana pendidikan ini adalah munculnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan yang bukan sekedar pengajaran. Pengajaran dianggap belum mengakomodasi “otak kanan” seperti penanaman sikap dan moral. Rencana pendidikan ini akhirnya menjadi kurikulum yang dikenal dengan kurikulum 1964.
Menurut Yanis Maladi, kurikulum 1964 inilah yang mirip dengan kurikulum 2013. Pasalnya, sama-sama meletakkan pada daya cita rasa, karsa dan karya serta pendidikan moral. Pada saat ini, dikenal dengan penanaman pengajaran emosional yang bersumberkan pada esensi nilai dasar agama dan bersumber kepada values and attitudes yang identik dengan budaya/kearifan lokal.

Perubahan selanjutnya dilakukan tahun 1968. Dilakukan perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Disebut Yanis Maladi, kurikulum 1968 itu kurikulumnya orde baru dan menjadi awal kocar-kacirnya pendidikan di Indonesia. Sangat kental dengan nuansa politis. Pasalnya, ada penilaian terhadap kurikulum yang diterapkan pada orde lama sebagai kurikulum komunis. “Padahal kan tidak boleh ada penilaian semacam itu, sebaiknya berfikir positive thinking. Sudah lumrah adanya jika terjadi pergeseran paradigma penyusunan kurikulum mengingat masyarakat yang terus bergerak mengikuti dinamika masyarakatnya.

Berikut, kurikulum 1975. Kurikulum ini menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Kurikulum ini dilatar belakangi adanya pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Pada Kurikulum 1975 guru dibuat sibuk dengan berbagai catatan kegiatan belajar mengajar.

Kurikulum 1984, yakni kurikulum yang mengusung pendekatan proses keahlian. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif ) atau Student Acting Learning. Pada masa ini banyak yang diberangkatkan ke Inggris untuk belajar CBSA. Dihajatkan dalam kegiatan belajar mengajar, diterapkan Pembelajaran aktif dan menyenangkan (Pakem).

Perubahan selanjutnya Kurikulum 1994, yakni hasil upaya memadukan kurikulum kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Hanya saja, perpaduan antara tujuan dan proses belum berhasil. Sehingga banyak kritik berdatangan, disebabkan oleh beban belajar siswa dinilai terlalu berat, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Misalnya bahasa daerah, kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.

Tahun 2004 dirubah lagi menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dimana, setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi yang harus dicapai siswa. Kurikulum ini cenderung Sentralisme Pendidikan, Kurikulum disusun oleh Tim Pusat secara rinci; Daerah/Sekolah hanya melaksanakan. Kurikulum yang tidak disahkan oleh keputusan/Peraturan Mentri Pendidikan ini mengalami banyak perubahan dibandingkan Kurikulum sebelumnya baik dari orientasi, teori-teori pembelajaran pendukungnya bahkan jumlah jam pelajaran dan durasi tiap jam pelajarannya.

Tahun 2006, alasan dilakukan penyempurnaan lagi sehingga tercipta– Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol pada Kurikulum ini adalah lebih konstruktif sehingga guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.

Selasa, 16 Juli 2013

“BROKER POLITIK DAN DEGRADASI NILAI DEMOKRASI”

 (BAHAN KAJIAN UNTUK PENEGAK HUKUM DI INDONESIA)
                                               
  Arif Rahman Maladi, S.H., LL.M[1]

               
Dalam sebuah Negara Demokrasi, Hukum haruslah menjadi panglima sebagai rule of game dalam kehidupan berdemokrasi. Sebagai sebuah sistem yang disepakati bersama oleh masyarakat, Demokrasi haruslah ditaati sebagai sebuah mekanisme yang mampu membawa cita-cita masyarakat dalam perwujudan menggapai tujuan bersama yakni kesejahteraan (walfare state). Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Dengan demikian pengertian demokrasi itu sendiri adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
                Sejak penerapan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung di Indonesia pada Juli 2005, ternyata belum mampu menyelesaikan permasalahan di daerah, melainkan makin menimbukan banyak masalah. Teori dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat yang merupakan nilai-nilai dalam demokrasi penerapannya masih jauh dari harapan. Praktik demokrasi lokal selama ini lebih banyak diwarnai dengan sejumlah eforia diatas fondasi yang masih sangat rapuh. Dalam proses Demokrasi langsung saat ini, terkadang para kandidat yang bertarung belum siap kalah, sehingga seringkali berujung pada gesekan politik antar pendukung. Sikap integritas pemimpin sebagai negarawan belum banyak dan mampu dicontohkan dalam konteks politik lokal didaerah. Seperti diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar di Harian Suara NTB beberapa waktu lalu di Lombok mengatakan bahwa mentalitas pemimpin tidak siap kalah menjadi alasan kuat banyaknya sengketa pemilukada yang harus berakhir di Mahkamah Konstitusi. Akibatnya,sebagian pendukung dan simpatisan kandidat juga ikut tidak siap menerima kekalahan dalam ajang pesta demokrasi lokal. Dalam konteks politik gambaran tersebut menunjukan bahwa sebagian rakyat belum siap menerima perubahan dari mass politics society menuju civil society.  Proses politik dan demokrasi di daerah  lebih banyak ditentukan oleh kuantitas massa yang dimobilisir (mobilized mass), bukan oleh visi, kebajikan maupun organized mass.
                Dalam setiap pagelaran Pilkada, walaupun telah memberi peluang yang terbuka bagi hadirnya aktor-aktor politik baru, juga membuka peluang munculnya para broker (makelar) politik. Para broker politik inilah yang menjadi pemain yang penting, baik dalam membuat opini publik ataupun mengerahkan massa baik menjelang hingga pasca pelaksanaan Pilkada, dengan tujuan untuk mencari kedudukan, kekayaan atau mempertahankan kekuasaan. Mengikuti pendapat para filsuf zaman Yunani Kuno, massa yang digerakkan oleh para broker tersebut bukanlah rakyat, warga atau publik yang sejati, melainkan mereka hanyalah sekedar gerombolan massa (the mob) yang sebenarnya merusak demokrasi lokal, karena cenderung terorientasi kepada suatu tujuan tertentu misalnya dengan cara permainan politik uang (money politic), dan hal ini sudah menjadi rahasia umum. Kehadiran para broker politik inilah yang seringkali menjadi pemantik konflik di masyarakat yang pada akhirnya mendegradasi nilai-nilai demokrasi lokal. Jika kita perhatikan broker politik telah menjadikan organisasi masyarakat (ormas) yang ada pada masyarakat baik itu dibidang keagamaan, sosial dan sebagainya seringkali menyimpang dari koridornya karena sudah ikut “terkontaminasi” oleh kepentingan politik para broker. Para broker politik ini yang akan secara terus menerus melakukan segala upayanya dalam mencapai tujuan politiknya. Tameng penegakan hukum, penegakan keadilan ataupun mengatasnamakan rakyat dijadikan sebagai alat dalam upayanya mencapai tujuannya tanpa mempedulikan stabilitas politik di masyarakat, yang pada muaranya menyebabkan masyarakat menganggap pilkada sebagai sebuah perayaan politik yang sarat dengan pesta, kompetisi, sensasi, mobilisasi, money politics, intrik, caci-maki, dan sebagainya.
                Kehadiran broker politik dalam pagelaran demokrasi lokal, telah mengakibatkan sebagian masyarakat terjerumus pada perwujudan euforia politik. Efouria adalah kegembiraan sesaat, yang menggambarkan bahwa proses politik hanya berlangsung dalam situasi darurat jangka pendek. Kegembiraan jangka pendek itu tidak bakal membuahkan demokrasi lokal yang kokoh dan berkelanjutan, kecuali hanya membuahkan kekecewaan dan ketidakpercayaan.  Eforia ini hanya datang dan pergi begitu saja berbarengan dengan pesta politik. Eforia ini selanjutnya akan berubah menjadi kekecewaan ketika “pesta” telah usai, tetapi ia akan datang lagi kala “pesta” bakal digelar kembali.



                [1] Dosen Fakultas Hukum Unram, Peneliti pada pusat kajian Konstitusi KMMIH UGM 

Kamis, 11 Juli 2013

MELURUSKAN PEMAHAMAN KELIRU TENTANG TANAH PECATU DESA.


(KASUS TANAH PECATU DESA APITAIK)

Oleh: Yanis Maladi[1]

          
                Tanah Pecatu/adat di setiap daerah memiliki latar belakang historis berbeda  antara daerah satu dengan daerah lainnya. Namun konsepsi secara umum tanah adat memiliki kesamaan jika dicermati dari aspek fungsi dan kedudukan tanah adat serta aturan yang mengatur hubungan antara tanah dengan masyarakat adat yakni masih didasarkan pada ketentuan hukum adat.  Konsep tanah pecatu di Lombok mempunyai kesamaan dengan konsep tanah bengkok yang dikenal dalam sistem agraris dipulau Jawa, Tanah hak Binua di Kalimantan ataupun tanah hak Nagari (sako) di Minangkabau,yang dipandang sebagai pemberian bagian dalam hal ini tanah kepada pejabat di desa sebagai bagian dari pemerintahan atau pemberian oleh Raja kepada punggawa-punggawa istana yang ia senangi dan percayai, untuk bagian dari yang disebut pertama lebih difungsikan bagi jaminan hidup keluarga kepala desa dan pamong-pamong desa. Tanah pecatu yang dikenal dalam rumpun adat suku sasak dipulau Lombok dikonsepsikan sebagai tanah yang diberikan kepada pejabat tertentu oleh masyarakat adat untuk menyelenggarakan pemerintahan di wilayahnya berdasarkan prinsip bahwa tanah tersebut diberikan selama yang bersangkutan memangku jabatan dan dapat dianggap suatu pembayaran kepada kepala desa oleh persekutuan untuk memelihara keluarganya. Tanah-tanah ini adalah tanah hak milik adat di mana mereka mempunyai hak atas pendapatan dan penghasilan dari tanah itu.
                Dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) memang secara eksplisit tidak menyebut tentang tanah pecatu. Namun tanah yang serupa dengan tanah pecatu dapat dikategorikan sebagai tanah ulayat karena terhadap tanah pecatu masih diatur dengan ketentuan hukum adat setempat, dan melekat hak komunal dan secaram umum dalam pasal 3UUPA disebut sebagai hak ulayat. Dengan demikian secara umum Tanah Pecatu  merupakan tanah yang dimiliki oleh desa yang bersumber dari adat-istiadat sendiri guna diberikan kepada kepala desa dan perangkat desa yang bersangkutan.  Dalam peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa yang termuat dalam Pasal 1 ayat (5), yang dimaksud Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.  
Kasus Tukar Guling Tanah Pecatu Desa Apitaik Tahun 2007
                Berdasarkan uraian sebelumnya tanah pecatu desa karena kepemilikan tanah pecatu bersumber dari adat, tanah Pecatu sebagai Tanah adat tidak boleh diperjual-belikan, namun boleh dialihkan kepada pihak lain atau pihak ketiga dengan cara pelepasan tanah kas desa dengan cara pelepasan hak melalui pemberian ganti rugi dan dengan cara tukar menukar (tukar guling) tanah tersebut dengan tanah lain. Pelepasan hak apabila status tanah yang dimohonkan adalah tanah hak dan adanya kesediaan pemegang hak untuk melepaskan tanahnya.  Tentunya mekanisme pelepasan tanah pecatu yang bersumber dari tanah adat harus didasarkan kepada mekanisme yang diakui oleh stakeholder pimpinan dan perwakilan masyarakat desa (adat) setempat. biasanya dilakukan melalui musyawarah mufakat yang difasilitasi kepala desa, tokoh masyarakat dan badan perwakilan desa, sebelum disetujui untuk dilakukan tukar guling tanah. Tukar menukar (tukar guling) tentunya harus tetap berlandaskan kepada aturan hukum yang ada, yakni kesepakatan kedua belah pihak.

                Namun yang perlu diperhatikan adalah mekanisme tukar menukar atau tukar guling (ruislag) tanah pecatu yang berasal dari hak adat/ aset desa berbeda dengan mekanisme tukar menukar tanah pecatu yang berkedudukan sebagai aset daerah. Dalam pengaturannya, tanah pecatu yang berkedudukannya sebagai aset daerah merupakan kekayaan milik negara yang proses pengalihannya diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 350/KMK.03/1994 Tentang Tata Cara Tukar Menukar Barang Milik/ Kekayaan Negara.
                Ketentuan pengelolaan barang/kekayaan milik negara/daerah lebih lanjut kemudian diatur secara baku dalam Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.17 Tahun 2007 tentang Pedoman tekhnis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Pengaturan secara ketat mengenai mekanisme tukar guling tanah kekayaan negara/aset negara dan daerah harus dimaknai dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan daerah yang berpotensi merugikan negara dan rakyat.
                Dalam kasus di Desa Apitaik permasalahan tukar guling tanah pecatu bermula dari surat Kepala Desa Apitaik tertanggal 4 Agustus 2007 No.593/79/PEM/2007 ditujukan kepada Camat Pringgabaya. Yang kemudian diteruskan oleh Camat Pringgabaya kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Timur yang ditujukan kepada Kabag Pemdes Setda Kabupaten Lombok Timur. Berikutnya pihak Setda menurunkan tim Pemeriksaan. Sejalan dengan kesaksian sekda Lotim pada saat itu di Pengadilan, setelah mendengar keterangan dari Asisten 1 M. Amin sebagai ketua Tim 9 (Tim telaah) bahwa memang tidak ada masalah terhadap proses tukar guling selama itu disepakati oleh seluruh elemen Pemerintahan Desa sebagai perwujudan kehendak masyarakat desa. 
                Pada dasarnya, dalam kasus ini jelas telah terjadi kekeliruan dalam pemaknaan kata Pecatu desa yang dianggap sebagai Aset Daerah. Tanah Pecatu Desa yang bersumber dari aset desa, secara otomotis proses tukar guling tanah bukan menjadi domein Pemerintah daerah sehingga pada prinsipnya tidak diperlukan izin dari pemerintah daerah sepanjang ditujukan demi kepentingan masyarakat desa. Kewenangan itu murni menjadi otonomi desa, yang mekanisme harus disetujuui oleh Kepala Desa dan BPD sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Desa dengan mendapat masukan dari tokoh masyarakat (adat) dan masyarakat (adat) setempat.  
                Bupati Lombok Timur yang kedudukannya sebagai kepala daerah memang benar mengeluarkan SK untuk dibentuknya tim peneliti tukar guling sebagai tanggapan atas surat permohonan kepala desa yang meminta pertimbangan kepala daerahnya.            SK dibentuknya tim peneliti oleh Bupati, semata-mata ditujukan agar proses Tukar Guling tidak merugikan masyarakat desa, karena kedudukan tanah pecatu bersumber dari hak adat (masyarakat), sehingga jangan sampai dengan adanya tukar guling, masyarakat dirugikan. Selanjutnya, SK pembentukan tim peneliti pada tujuannya ditujukan  untuk memberikan masukan atau saran terhadap tukar guling yang akan dilakukan.
                Ini didukung dalam fakta yang terungkap dalam persidangan, dimana Bupati tidak pernah mengeluarkan SK untuk tukar guling, karena pemerintah daerah Lombok Timur mengetahui secara pasti kedudukan Tanah kadus Gubuk Montong desa Apitaik merupakan tanah pecatu yang bersumber dari aset desa bukan aset daerah. SK Bupati Lotim yang membentuk Tim 9 yang diketuai oleh Asisten I saat itu berdasar hasil telaahnya dijelaskan bahwa penilaian terhadap tukar guling digambarkan tidak merugikan desa dan menguntungkan karena tanahnya lebih luas dibanding tanah pecatu milik Kadus Gubuk Montong yang semula hanya memiliki luas 5062 m2 ditukar dengan tanah yang memiliki luas 8188 m2.         Dari sisi Produktifitas Tanah, berdasarkan hasil telaah juga terungkap bahwa, Tanah Pecatu Desa Kadus gubuk Montong dengan bertambah luasnya tanah dapat memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat, yang pada awalnya tanah Pecatu hanya mengahasilkan Rp 2,5 juta/per tahun sebelum penukaran, dan setelah penukaran penghasilannya dapat bertambah menjadi Rp. 7,5 juta per tahun.      
                        Bupati Lombok timur dan jajarannya dalam hal ini telah berupaya maksimal untuk bertindak secara progresif dan responsif dalam rangka sebatas membantu desa memberikan penilaian/ pertimbangan kelayakan tukar guling yang akan dilakukan, dengan tujuan agar jangan sampai tukar guling ini yang secara aturan memang merupakan kewenangan desa kemudian hari ternyata merugikan masyarakat. Tukar guling aset desa tidak harus melalaui persetujuan DPRD, karena bersumber dari hak adat (ulayat) yang dilindungi oleh negara dan diatur dalam konstitusi negara pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 jo. pasal 5 UUPA yang berkaitan dengan eksistensi tanah hak milik adat termasuk pecatu desa. Hal ini juga dikuatkan dengan Peraturan pemerintah No.72 tahun 2005 Tentang Desa pasal 68 ayat (3) yang menyebutkan bahwa kekayaan desa tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan alasan apapun. Bahkan menurut pasal 201 ayat (2) UU 32 Tahun 2004 Tentang pemerintah daerah, secara jelas disebutkan walaupun status desa berubah menjadi kelurahan, kekayaanya desa yang beralih statusnya menjadi kelurahan tetap dikelola oleh pemerintah desa/kelurahan yang bersangkutan.
                 Terakhir, hingga saat ini tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa Tanah Pecatu Desa Apitaik sebagai Aset Daerah.  Pada dasarnya Penetapan suatu tanah menjadi Tanah milik daerah/ inventaris daerah/ aset daerah, tentunya harus bersandar dari peraturan yang ada yakni mengacu pada peraturan perundang-undangan terkait. Penetapan aset daerah seharusnya mengacu pada PP No.6 tahun 2006 dan pelaksanaan tekhnisnya mengacu kepada Permendagri No.17 Tahun 2007 tentang Penetapan Aset daerah. Pada kenyataan berdasarkan fakta-fakta yang ada, status tanah pecatu hanya didasarkan pada buku inventaris “tak bertuan” yang tidak ada legitimasi pejabat daerah baik Kepala Daerah, DPRD maupun pejabat bewenang lainnya pada saat terjadinya tukar Guling oleh Pimpinan Pemerintah Desa. Oleh karena itu wajar jika Jaksa, tidak bisa melanjutkan kasus ini yang mengarah kepada Bupati Ali Bin Dahlan yang hanya sebatas membantu memberikan penilaian kelayakan adanya tukar guling. Karena kewenangan sepenuhnya berada pada pemerintah Desa sebagai pemangku pemegang hak ulayat (adat) desa.



                [1]  Ahli Hukum Pertanahan Universitas Mataram