“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Rabu, 06 Oktober 2010

“SISTEM DEMOKRASI ALA INDONESIA”

Oleh :

Arif Rahman F.S, S.H

NIM. 10/306216/PHK/6358

MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2010


A. Latar Belakang

Pasca pergerakan reformasi 1998, telah membawa Indonesia keluar dari belenggu sistem otoriter yang telah berkuasa tak kurang dari 32 tahun, sebagian orang melihat ini ini adalah peristiwa besar Indonesia dalam melakukan sebuah reformasi pemerintahan. Indonesia telah mampu tampil sebagai kampiun kebebasan dan demokrasi bagi negara-negara di Asia Tenggara. Jika dilihat dari tolok ukur sebelum reformasi, hampir semua tolok ukur menunjukkan Indonesia belum berhak menjadi demokrasi. Hal ini bisa dikatakan sebagai suatu keberhasilan dan memiliki prestise sendiri bagi bangsa Indonesia yang patut disyukuri. Dari pengalaman transisi di Indonesia jika dibandingkan dengan pengalaman negara lain, baru kali ini demokrasi berjalan satu dasawarsa lebih ketika keluar dari otoriterisme. Kita bisa bandingkan misalnya, dengan Rusia, ketika lepas dari rezim komunisme dan melakukan reformasi pada tahun 1991, Rusia semakin lama bukannya semakin demokratis namun semakin melorot ke arah otoriterisme[1].

Ditengah semangat bangsa Indonesia merayakan demokrasi, bangsa Indonesia juga perlu menerima kekurangan dan kelemahannya sistem demokrasi itu sendiri. Betapa Indah dan bagusnya bilamana penerimaan terhadap segala kekurangan dan kelemahan yang timbul dalam demokrasi dilakukan dengan lapang dada. Walaupun belum dapat menerimanya dengan antusias, paling tidak kelemahan tersebut dapat diterima sebagai suatu yang menjengkelkan. Sebab, dalam periode yang sama, demokrasi di Indonesia juga menampilkan peristiwa dan gejala yang menimbulkan keraguan terhadap masa depan dan daya tahan demokrasi.

Demokrasi adalah bentuk negara yang sulit. Ahli politik Theodor Eschenburg mengatakan bahwa demokrasi harus benar-benar jelas. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang begitu rumit sehingga orang hanya akan memahaminya jika ia telah dipelajari dengan baik sebelumnya. Jadi, kita harus “menjelaskan” dulu apa itu demokrasi. Karena hanya yang tahu demokrasi dan cara fungsinya sajalah yang akan mengenali nilai demokrasi, mendukungnya serta mengorganisasikannya, dan bahkan mungkin memperjuangkannya.

Demokrasi di Indonesia belum mempunyai gambarannya yang utuh. Masih dibutuhkan strategi untuk menata konstitusi baik dari segi pelembagaan yang akan memberikan desain kerja bagi lembaga-lembaga negara berdasarkan fungsi dan tugasnya serta sistem demokrasi yang mampu mengimplementasikan hakekat demokrasi itu sendir agar mampu untuk menciptakan kehidupan bernegara yang demokratis dan sesuai dengan konstitusi. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, bangsa Indonesia masih berada dalam tahap transisi demokrasi di mana kecenderungan besar konstitusinya (UUD 1945) menempatkan negara dalam model konstitutif. Hal ini bisa dimaknai sebagai sebuah usaha yang positif dalam rangka menggerakkan dinamika dan harapan akan tegaknya aturan hukum, khususnya yang berhubungan dengan proses politik dalam mengatur negara[2].

Tulisan ini berusaha untuk melihat demokrasi sebagai sebuah sistem kenegaraan Indonesia yang baru lahir dan masih perlu nutrisi yang baik dalam rangka menemukan sebuah sistem demokrasi yang benar-benar ala Indonesia, sehingga mampu diterima dan dipahami masyarakat. Masih terdapatnya banyak permasalahan pasca amandemen konstitusi, merupakan sebuah petunjuk bahwa proses instalisasi demokrasi ala Indonesia ternyata belum sepenuhnya selesai. Baik mengenai persoalan pengaturan lalu lintas institusional antar lembaga-lembaga negara dan kewenangannya, sistem kenegaraan yang dipilih antara sistem presidensial dan parlementer masih belum memiliki kejelasan. Persoalan yang ingin diulas dalam tulisan ini adalah Model demokrasi seperti apa yang mampu dan cocok diterapkan di Indonesia atau dalam bahasa yang lebih dekatnya adalah model demokrasi yang ala Indonesia bagaimana yang cocok tumbuh subur di tanah air Indonesia.

B. PEMBAHASAN

1. Mengenal Demokrasi Di Indonesia Lebih Dalam

Sebelum penulis menjelaskan pokok permasalahan yang ingin dibahas, alangkah baiknya kita bilamana berkenalan dulu dengan “makhluk” bernama demokrasi. Secara harfiah demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein berarti kekuasaan, sehingga secara sederhana dapat dikatakan sebagai kekuasaan rakyat[3]. Sehingga konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.menurut Robert A Dahl[4] ada enam prinsip yang harus ada dalam sistem negara demokrasi:

1. Para pejabat yang dipilih oleh warga negara (pemerintahan demokrasi modern ini merupakan demokrasi perwakilan)

2. Pemilihan umum yang jujur, adil, bebas, dan periodic

3. Kebebasan berpendapat

4. Warga negara berhak mencari sumber-sumber informasi alternatif;

5. Otonomi asosiasional, yakni warga negara berhak membentuk perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan

6. Hak kewarganegaraan yang inklusi

Berbeda halnya ketika membicarakan pengertian demokrasi dari sudut pandang ilmu politik, yang lebih menjelaskan bahwa demokrasi merupakan suatu bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut[5]. Pericles, negarawan Athena yang hidup pada tahun 430 SM mengatakan bahwa Demokrasi mengandung beberapa kriteria penting yakni: pertama, pemerintahan oleh rakyat yang dibangun dari dukungan atau partisipasi rakyat yang mayoritas secara langsung dan kedua, kesamaan warga negara di depan hukum yang berupa penghargaan terhadap wilayah privat (pemenuhan HAM-dalam konteks kekinian) untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian.

Jadi bisa kita perhatikan, secara sederhana demokrasi merupakan sebuah sistem pengambilan kebijakan yang sangat tergantung dengan bagaimana budaya (culture) dan sejarah (history) sebuah negara atau bangsa, serta bagaimana legitimasi itu diberikan kepada pemerintah selaku pihak yang menjalankan fungsinya Perlindungan HAM dan pembangunan perdamaian menjadi tujuan akhir yang secara universal dan nyaris setiap negara yang menklaim dirinya bersistem demokrasi ingin dicapai. Demokratisasi dan politik yang ada di setiap negara seringkali diasumsikan sebagai satu paket yang saling beriringan dan sinergi satu dengan yang lainnya. Komposisi keduanya tak jarang menghasilkan benturan-benturan keras dalam konsolidisi. Kekuatan lama dan kekuatan baru yang sama-sama berkepentingan saling berebut lembaga-lembaga Negara yang tersedia. Bagi publik khususnya, fenomena demokrasi ini telah menyiratkan gambaran buruknya liberalisasi politik, yang kerapkali ditemukan pada wajah parpol yang menghasilkan legislator buruk dan hanya bisa membuat legislasi yang merugikan publik.

Prinsip-prinsip negara demokrasi yang telah disebutkan di atas kemudian dituangkan ke dalam konsep yang lebih praktis sehingga dapat diukur dan dicirikan. Ciri-ciri ini selanjutnya dijadikan parameter untuk mengukur tingkat pelaksanaan demokrasi yang berjalan di suatu negara. Parameter tersebut meliputi empat aspek. Pertama, masalah pembentukan negara. Proses pembentukan kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kualitas, watak, dan pola hubungan yang akan terbangun. Pemilihan umum dipercaya sebagai salah satu instrumen penting yang dapat mendukung proses pembentukan pemerintahan yang baik. Kedua, dasar kekuasaan negara. Masalah ini menyangkut konsep legitimasi kekuasaan serta pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Ketiga, susunan kekuasaan negara. Kekuasaan negara hendaknya dijalankan secara distributif. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemusatan kekuasaan dalam satu tangan..Keempat, masalah kontrol rakyat. Kontrol masyarakat dilakukan agar kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau negara sesuai dengan keinginan rakyat.

Perkembangan demokrasi di Indonesia dari segi waktu dapat dibagi dalam empat periode, yaitu[6] :

1. Periode 1945-1959 Demokrasi Parlementer

Demokrasi pada periode ini sering kita kenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Meskipun sistem ini dapat berjalan dengan memuaskan di beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya persatuan bangsa. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.

2. Periode 1959-1965 (Orde Lama) Demokrasi Terpimpin

Dalam pandangan Prof.A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai “Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif.

3. Periode 1965-1998 (Orde Baru) Demokrasi Pancasila

Ciri-ciri demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat mendominasi pemerintahan, terbatasnya peran partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah

4. Periode 1998-sekarang( Reformasi )

Orde reformasi ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatan presiden kemudian diisi oleh wakil presiden, Prof. DR. Ir. Ing. B.J. Habibie. Turunnya presiden Soeharto disebabkan karena tidak adanya lagi kepercayaan dari rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru. Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis karena dalam fase ini akan ditentukan ke mana arah demokrasi akan dibangun yang selanjutnya kita akan sampai pada bagian konsolidasi demokrasi. Dalam proses konsolidasi inilah struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama proses transisi akan dimantapkan. Hal ini bertujuan agar proses konsolidasi menghasilkan penetapan sistem demokrasi yang secara operasional diharapkan akan memperoleh kredibilitas di hadapan masyarakat. Re-Konstitusi (Amandemen) konstitusi adalah salah satu wujud nyata dari implementasi konsolidasi demokrasi. Re-konstitusi ini diharapkan memberikan jaminan bagi prosedur tetap pembuatan keputusan politik, yang pada akhirnya, implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem politik dan institusi politik.

2. Pancasila Sebagai Landasan Nilai Demokrasi Ala Indonesia.

Rumusan tentang dasar negara merupakan rumusan tentang pengakuan bersama mengenai prinsip-prinsip bersama suatu negara dan bangsa, yang disandarkan pada nilai-nilai yang ada dan secara alamiah tumbuh dan berkembang pada masyarakatnya. Perjalanan sejarah pembentukan dasar negara Indonesia sebenarnya telah menunjukan kepada kita bersama bahwa telah terjadi perdebatan yang kuat antara kelompok pendukung garis dasar Islam dan kelompok pendukung dasar negara kebangsaan atau yang lebih akrab kita kenal sebagai negara pancasila. Walaupun terjadi pertentangan dan perdebatan dasar negara mana yang digunakan oleh bangsa Indonesia pada akhirnya dengan argumen dan kekuatan politik yang mendukung pada saat itu telah mengokohkan Pancasila sebagai sebuah dasar dan ideologi negara.

Dari segi hukum, kedudukan pancasila telah melahirkan suatu tatanan sistem baru yang khas, pancasila merupakan curahan pikiran bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan negara yang mampu mensejahterakan rakyatnya. Pancasila menjadi rambu-rambu dalam melahirkan kaidah penuntun dalam politik hukum nasional bangsa Indonesia. Rambu yang paling umum tentunya adalah adanya larangan bagi munculnya hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai pancasila. Bagitu juga dengan demokrasi yang ada di Indonesia harus sesuai dengan prinsip-prinsip pancasila sebagai sebuah ideologi dalam menentukan demokrasi ala Indonesia.Tidak boleh ada demokrasi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, baik itu nilai ketuhanan, keagamaan, kemanusiaan yang keberadaban, persatuan bangsa, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan sebagainya.

Penafsiran Pancasila sebagai dasar negara, seharusnya tidak boleh diperumit oleh berbagai pemikiran teoritis. Karena itu, satu satunya penafsiran yang benar adalah oleh dan dengan konstitusi. Dengan demikian dasar negara Pancasila ketika berfungsi sebagai pembentuk sistem, struktur, dan kultur bernegara (three element of state) terdapat dalam Undang Undang Dasar (UUD). Ini adalah kata kunci dalam melihat hal ini, sehingga tafsir di luar konstitusi hanyalah bagian dari diskursus yang dihormati tetapi tidak mengandung ikatan konstitusional.

Indonesia menganut demokrasi yang berdasarkan Pancasila, dan saat ini masih dalam taraf perkembangan dalam menemukan jati dirinya pasca runtuhnya orde baru. Satu hal yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam Undang Undang Dasar 1945. Selain dari itu Undang-Undang Dasar kita menyebut secara eksplisit 2 prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang dicantumkan dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara, yaitu[7]:

a. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat).Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat).

b. Sistem Konstitusionil, Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarkan 2 istilah Rechstaat dan sistem konstitusi, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilana, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.

Sedangkan prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila yang terkadung menurut Ahmad Sanusi[8] ada sepuluh yakni:

A. Demokrasi yang Berketuhanan Yang maha Esa

B. Demokrasi dengan kecerdasan

C. Demokrasi yang berkedaulatan rakyat

D. Demokrasi dengan rule of law

E. Demokrasi dengan pemisahan kekuasaan Negara

F. Demokrasi dengan hak asasi manusia

G. Demokrasi dengan pengadilan yang merdeka

H. Demokrasi dengan otonomi daerah

I. Demokrasi dengan kemakmuran

J. Demokrasi yang berkeadilan sosial

Demokrasi Pancasila mendasarkan diri pada faham kekeluargaan dan Kegotong-royongan yang ditujukan untuk: Kesejahteraan rakyat, Mendukung unsur-unsur kesadaran hak ber-ketuhanan Yang Maha Esa, Menolak atheism, Menegakkan kebenaran yang berdasarkan kepada budi pekerti yang luhur, Mengembangkan kepribadian Indonesia, Menciptakan keseimbangan perikehidupan individu dan masyarakat, jasmani dan rohani, lahir dan bathin, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan Tuhannya.

Demokrasi Pancasila seperti yang telah diatas merupakan suatu ke-khasan bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan kenegaraannya dan hal ini tentunya berbeda dengan bangsa lainnya, semangat gotong royong dan kekeluargaan menjadi poin penting dalam demokrasi pancasila, karena merupakan perwujudan semangat rakyat secara kultural. Proses perwujudannya demokrasi (kedaulatan rakyat) tercermin dalam sila ke empat yang berbunyi : “Permusyawatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusawaratan/ perwakilan”, Memiliki makna bahwa kedaulatan rakyat dapat diselenggarakan secara langsung atau melalui perwakilan. Prinsip ini menganut pembagian kekuasaan (distribution of power) atau pemisahan kekuasaan (separation of power) antara Lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Kedaulatan rakyat dalam perspektif Pancasila melihat distribution of power maupun separation of power dalam prinsip checks and balances.

Salah satu produk menarik demokrasi pancasila pasca amandemen adalah terjadinya semacam metarfose mekanisme kedaulatan rakyat dalam konstitusi, dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan disebutkan : “ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Hal ini menunjukan bahwasanya pemegang supremasi adalah konstitusi. berdasarkan amandemen tersebut, mekanisme pelaksanaan kedaulatan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam Konstitusi, UUD 1945. Presiden menjalankan kedaulatan rakyat untuk menjalankan pemerintahan negara. DPR menjalankan kedaulatan rakyat untuk membentuk undang-undang dan mengawasi Presiden. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menjalankan kedaulatan rakyat dalam bidang yudikatif dan peradilan.

Sebagai konstitusi, UUD 1945 pasca amandemen mengatur mengenai mekanisme demokrasi politik yaitu ketentuan-ketentuan tentang sistem pemilihan anggota legislatif DPR, DPD atau DPRD, Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota, dalam berbagai pasal, yang sebelumnya tidak dituangkan secara tegas dalam UUD 1945 pada masa orde baru. Mekanisme demokrasi yang menjamin terlaksananya kedaulatan rakyat dalam pengisian jabatan-jabatan lembaga negara diatur dalam satu pasal khusus yaitu pasal 22 E. Pasal tersebut juga mengatur tata cara pemilu, termasuk ketentuan pendirian lembaga independen Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) langsung tahun 2004 untuk memilih calon legislatif disusul memilih presiden dan wakil presiden secara langsung dalam dua tahapan menjadi hajatan besar pertama demokrasi yang didambakan bangsa Indonesia. Dunia pun memuji dan mendaulat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika serikat dan India. Praktik pemilihan langsung ditataran pemerintah pusat, kemudian diujicobakan di tingkat daerah. Pada tahun 2005, kepala-kepala daerah di seluruh Indonesia untuk pertama kalinya dipilih langsung oleh rakyatnya. Namun proses transisi demokrasi untuk mewujdkan nilai-nilai Pancasila memang masih jauh dari harapan. Demokrasi masih melalui proses evolusi alamiah menuju yang didambakan bersama.

Kita mungkin saja bisa sapakat secara prosedural demokrasi telah memberikan kebaikan kepada bangsa ini, yakni dengan perwujudan dan adanya jaminan konstitusi dan hukum mengenai perlindungan warga negara, terwujudnya praktek pemilihan umum dan pemilukada secara langsung, dan beberapa kebaikan yang selama rezim orde baru berkuasa tidak pernah diperoleh. Tetapi yang perlu menjadi catatan kita adalah, kita belum melihat perkembangan demokrasi pancasila secara substansial pasca runtuhnya orde baru. Dua belas tahun memang belum cukup untuk menggapai kebaikan demokrasi secara substansial. Untuk mencapainya harus melewati prosedural yang mungkin membutuhkan waktu yang lama. Menyaksikan kebaikan demokrasi prosedural yang berjalan lancar. Meskipun di beberapa pilkada diwarnai sengketa hingga berujung konflik fisik, membuat kita tetap optimis. Jika proseduralnya berjalan lancar maka substansinya akan tercapai. Demokrasi adalah sesuatu yang dinamis. Ia senantiasa bergerak atau berubah. Kadang-kadang negatif (mundur), kadang-kadang positif (berkembang maju). Oleh karena itu, Ideolog Partai Demokrat Jerman Willy Eichler mengatakan, demokrasi bukanlah suatu nilai statis yang terletak di suatu tempat di depan kita, lalu kita bergerak menuju ke sana untuk mencapainya.

Lahirnya lembaga-lembaga negara baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia dalam konstitusi pasca amandemen, perlu kita berikan apresiasi. Sebagai contoh, berdirinya Mahkamah Konstitusi,keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Sampai sekarang baru ada 78 negara yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri[9]. Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka ketika para the faounding father merancang konstruksi negara Indonesia Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini[10].

Pada saat pembahasan amandemem UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali, karena belajar dari pengalaman sebelumnya pada saat orde baru berkuasa, Konstitusi sering disalahartikan secara multi tafsir oleh pengemban demokrasi yang bertujuan untuk melanggengkan kepentingan praktisnya. setelah Amandemen UUD 1945 pada era reformasi telah menjadikan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi.[11] Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional untuk menghadirkan lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang (UU) melainkan juga atas UU terhadap UUD. Kewenangan melakukan pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran itu, maka berdirilah lembaga pengawal dan penafsir konstitusi. Mahkamah konstitusi diharapkan memiliki jiwa yang sensitif untuk melindungi hak konstitusional rakyat, yang memang terkadang dilanggar oleh undang-undang yang dibuat oleh “penguasa” .

3.Demokrasi Pancasila Adalah Milik Bangsa Indonesia

Melalui amandemen konstitusi pada era reformasi, Bangsa Indonesia secara tegas telah menyatakan dirinya sebagai negara hukum[12]. Dengan demikian jelas halnya bahwa konstitusi bangsa Indonesia menganut prinsip demokrasi sekaligus nomokrasi (kedaulatan hukum). Demokrasi merupakan penyerahan kepada rakyat untuk mengambil keputusan-keputusan politik dalam hidup bernegara, sedangkan nomokrasi merupakan penyerahan kepada hukum untuk menyelesaikan berbagai hal yang berusaha mencederai demokrasi dan hak-hak rakyat[13]. Dengan demikian ada sinergi antara demokrasi dan nomokrasi. Mantan Presiden RI, (Alm) KH.Abdurahman Wahid atau yang biasa kenal dengan Gus Dur pernah pernah menyatakan dalam penataran P-4 kala itu bahwa sesungguhnya demokrasi akan tercipta ketika ada kedaulatan hukum (nomokrasi).

Sistem Demokrasi Pancasila atau yang penulis sebutkan sebagai sistem demokrasi ala Indonesia ini merupakan konsep demokrasi yang memiliki nilai-nilai yang terkandung dan sesuai dengan culture bangsa ini. Pluralisme hukum yang dianut bangsa ini nampak jelas dihargai dalam demokrasi pancasila, Secara teori sistem demokrasi Pancasila merupakan konsepsi prismatik yang memadukan inti nilai yang baik dari berbagai nilai yang saling bertentangan. Konsep Prismatik merupakan kombinasi atas nilai sosial paguyuban dan nilai sosial patembayan. Dua nilai sosial ini saling mempengaruhi warga masyarakat, yakni kalau nilai sosial paguyuban lebih menekankan pada kepentingan bersama dan nilai sosial patembayan lebih menekankan kepada kepentingan dan kebebasan individu. Nilai prismatik diletakan sebagai dasar untuk membangun hukum yang penjabarannya dapat disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang bersangkutan[14].

Maka oleh Mahfudz MD ditegaskan setidaknya ada empat hal supaya prismtika hukum dapat diwujudkan, pertama, Pancasila memadukan unsur yang baik dari paham Individualisme dan kolektivisme. Di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi, namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial. Kedua, Pancasila mengintegrasikan negara hukum yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum the rule of law yang menekankan pada common law dan rasa keadilan. Ketiga, Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as tool of social enginering) sekaligus hukum sebagai cermin rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (living law). Keempat, Pancasila menganut paham relegious nationstate, tidak menganut atau mengendalikan suatu agama tertentu (karena bukan negara agama), tetapi juga bukan hampa agama (karena bukan negara sekuler). Di sini negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agam tanpa diskriminasi berdasarkan pertimbangan mayoritas dan minoritas[15].

Dengan demikian secara substantif konseptual istilah negara hukum Pancasila mewakili semangat demokrasi dan hukum yang berakar budaya bangsa Indonesia. Pemakaian istilah ini juga untuk mewadai berbagai karakter nilai yang tumbuh di Indonesia, seperti, kekeluargaan, kebapakan, keseimbangan, musyawarah, dan keserasian. Karena itu semua merupakan akar dari budaya hukum negeri ini. Karena hukum merupakan pelayan masyarakat sehingga hukum di sini harus sesuai dengan hukum dan akar budaya masyarakat Indonesia.[16]

C. KESIMPULAN

Demokrasi adalah pilihan yang jelek, namun tidak ada yang lebih baik dari demokrasi diantara pilihan-piilihan lain yang juga jelek, seperti monarki absolut, autokrasi, aristokrasi, oligarki, okhlokrasi dan terutama tirani. Demokrasi dianggap paling baik dari sistem lainnya karena menghargai hak-hak dan pilihan –pilihan rakyat meskipun dengan segala kekurangan dan kebodohannya. Demokrasi akan membawa kebaikan jika demokrasi dijalankan sesuai dengan definisi demokrasi itu sendiri: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Orang-orang yang dipercaya mewakili rakyat atau "pengemban demokrasi", menjadi utusan yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebaliknya, demokrasi akan membawa keburukan jika dijadikan sebagai alat oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan gamblang sejarah telah mencatat bagaimana demokrasi menunjukan wajah menakutkan.

Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sangat berciri khas Indonesia atau bisa kita sebut sebagai demokrasi ala Indonesia, tetapi konsepnya sangat sesuai dengan kriteria-kriteria demokrasi yang berlaku umum (universal). Kekhususan demokrasi Pancasila menimbulkan beberapa perbedaan dengan demokrasi yang berlaku di negara lain. Sebagaimana diungkap presiden kita pertama bahwa negara ini juga dilaksanakan dengan prinsip “gotong-royong” yang merupakan cita khas cara kerja Indonesia, maka demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang tidak akan pernah bisa mutlak diindentikan dengan demokrasi negara-negara lain di dunia. Dengan demikian dalam menjalankan kedaulatan rakyat Bangsa Indonesia diikat kultur bernegara atau budaya politik yang bersumber dari nilai-nilai yang terdapat pada sila-sila Pancasila secara utuh.

DAFTAR PUSTAKA

Dyah Listyarini ,2009, Prismatika Nilai Ekonomi dan Nilai Kepentingan Sosial sebagai

Dasar Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II

Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi, Kompilasi Ketentuan

Konstitusi, Undang-Undang dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.

--------------------- , MK Dalam Ketatanegaraan Indonesia, Bahan ceramah

pada Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung, 19 April 2008.

---------------------, MK Dalam Ketatanegaraan Indonesia, Bahan ceramah

pada Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung, 19 April 2008.

Mahfudz MD, “Mimpi Demokrasi Dari Bung Karno, Jawa Pos, 27September 2006.

--------------, 2009, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta: PT Raja

Grafindo

M. Steven Fish and Danielle Lussier, "Society Counts: Public Attitudes, Civic

Engagement,Unexpected Outcomes in Regime Change in Indonesia and Russia," paper yang disampaikan dalam pertemuan tahunan American Political Science Association, Boston, Massachusett, 28-31 Agustus 2008.

M. Faishal Aminuddin, Pelembagaan Demokrasi Konstitusional, Jurnah Konstitusi Vol. 4

tahun 2007,Jakarta: Sekretariat MK.

Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, dalam harian Kompas,

INTERNET dan LAIN-LAIN:

Dalam www.psp.ugm.ac.id/...pancasila/

Dalam http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/04/demokrasi-pancasila.html

Dalam www.mazdabalikpapan.com/Tugas_Sekolah_Online

Undang-Undang Dasar 1945



[1] M. Steven Fish and Danielle Lussier, "Society Counts: Public Attitudes, Civic Engagement,Unexpected Outcomes in Regime Change in Indonesia and Russia," paper yang disampaikan dalam pertemuan tahunan American Political Science Association, Boston, Massachusett, 28-31 Agustus 2008.

[2]M. Faishal Aminuddin, Pelembagaan Demokrasi Konstitusional, Jurnah Konstitusi Vol. 4 tahun 2007,Jakarta: Sekretariat MK, hlm. 84

[3] Dalam Wikipedia Bahasa Indonesia

[5]

[6] Ibid,.

[9] Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk lembaga ini dan merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuknya. Uraian lengkap mengenai MK di 78 negara dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi, Kompilasi Ketentuan Konstitusi, Undang-Undang dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.

[10] Jimly Asshiddiqie , MK Dalam Ketatanegaraan Indonesia, Bahan ceramah pada Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung, 19 April 2008.

[11] Lihat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

[12] Periksa : Pasal 1 ayat 3 UUD 1945

[13] Moh. Mahfud M.D, 2009, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta: PT Raja Gravindo, hlm. 413

[14] Hj. Dyah Listyarini ,2009, Prismatika Nilai Ekonomi dan Nilai Kepentingan Sosial sebagai Dasar Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II, hlm. 1

[15] Mahfudz MD, “Mimpi Demokrasi Dari Bung Karno, Jawa Pos, 27September 2006.

[16] Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, dalam harian Kompas, hlm, 10

0 komentar:

Posting Komentar