“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Selamat Datang di Blog Resmi Arif Rahman Maladi.

Bersama berbagi untuk generasi.

Minggu, 31 Oktober 2010

PENEGAKAN HUKUM KASUS CENTURY (Perspektif Teori Hukum Filsuf Ionia, “Hukum Sebagai Tatanan Kekuatan”)

Oleh : Arif Rahman F.S

Awal perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat hukum yang selanjutnya disusul oleh dogmatik hukum (ilmu hukum positif). Diantara keduanya terdapat perbedaan yang tajam. Filsafat hukum bersifat sangat spekulatif, sedangkan hukum positif bersifat sangat teknis. Dengan demikian, untuk menjebatani keduanya diperlukan sebuah teori hukum yang semula berbentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer). Teori hukum berisi ciri-ciri umum seperti asas-asas hukum maupun permasalahan yang sama dari berbagai sistem hukum.[1] Tradisi dominan dari sebuah teori hukum dalam pendidikan hukum kita di Indonesia khususnya adalah “teori tentang aturan”. Aturan disini saya maksudkan adalah aturan dalam arti “logika aturan”yang menjadi sumber teorisasi. Apa yang disebut sebagai Rechtside lehre, Begriffsjurispridence, analitycal jurisprudence ataupun rechtdogmatiiek, hanyalah sebuah prefensi yang kebetulan masih mendominasi pendidikan hukum negeri ini. Namun perlu kita sadari diluar teori tersebut, ternyata masih sangat banyak versi lain, semisal theory of natural law, Interestjurisprudenz, Frei rechtslehre, Sociological Jurisprudence, realistic Jurisprudence, Critical Legal Theory, Human Jurisprudence, dan sebagainya.

Bilamana kita mengikuti perkembangan teori hukum tidak akan terkejut ketika kita menemukan dua kelompok teori yang memang menghiasi jejak pemikiran hukum sepanjang sejarah.[2] Hanya saja perbedaan disini adalah terletak kepada titik tolak, dimana kelompok yang pertama melihat hukum sebagai unit aturan (tekhnis) yang tertutup dan formal-legalistik dan kelompok yang kedua melihat hukum sebagai sebuah unit terbuka dan menyentuh mosaik sosial kemanusiaan. Walau begitu dalam teorisasi hukum , keduanya merupakan dokumen penting, karena keduanya bisa kita bisa sebut sebagai sebuah dokumen yang berisi dan bercerita tentang pergulatan hidup manusia. Disitulah manusia mulai bergulat dengan dirinya sendiri dan dengan “kekuasaan-kekuasaan” disekitarnya. Kisah pergulatan manusia demikianlah yang bisa kita ketemui ketika menelusuri rimba teori hukum. Dan tak salah halnya ketika Wolfgang Friedmen dengan tegasnya berkata, bahwa teori hukum bergumul dengan beberapa antinomi, misalnya: alam semesta dan individu, kehendak dan pengetahuan, akal dan instuisi, stabilitas dan perubahan, positivisme dan keadilan, kolektivisme dan keadilan, demokrasi dan otokrasi, universalisme dan nasionalisme.[3]

Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Guna terciptanya ketertiban didalam masyarakat diperlukan suatu tatanan. Hukum sebagai salah satu bentuk tatanan disamping kebiasaan dan kesusilaan, berperan besar dalam terciptanya ketertiban. Hukum disini adalah hukum tertulis seperti peraturan perundang-undang, putusan hakim (jurisprudensi), perjanjian (traktat). Sehingga saat ini hampir seluruh negara di dunia ini menjadikan hukum sebagai landasan dasar dalam mengatur ketertiban masyarakatnya tak terkecuali Indonesia.

Perjalanaan reformasi selama hampir sebelas tahun ternyata menyisakan permasalahan yang sama dengan masa orde baru yaitu transparansi dalam penegakkan hukum. Hukum harus diposisikan sebagai panglima dalam tingkah laku kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Baik masyarakat, aparat pemerintah termasuk didalamnya aparat penegak hukum harus tunduk pada hukum tanpa adanya diskriminatif dan segala permasalahan hukum wajib diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku. Indonesia yang menegaskan dirinya sebagai negara hukum pasca amandemen UUD 1945 hingga hari ini (pasca reformasi) masih terus bergulat dalam rangka menciptakan penegakan hukum yang sesuai dengan cita-cita dan semangat rakyat. “Rusaknya” penegakan hukum di Indonesia merupakan wacana yang sudah bergulir sejak lama dikalangan para pemikir hukum.

Begitu banyak analisa dari berbagai sudut teori hukum yang ada diberikan oleh ahli hukum di Indonesia dalam rangka menyumbangkan pemikirannya. Ada yang menyalahkan sistem, ada yang menyalahkan para aparat penegak hukum dan ada yang menyebutkan karena kultur yang terlanjur lahir di bangsa ini. Namun apa daya, hukum di Indonesia seolah-olah belum mau beranjak dari “kursinya” selalu berada dibawah “kursi-kursi” lainnya. Sehingga penyelesaian berbagai kasus yang memiliki hubungan dengan kekuasaan dan politik, hukum masih mampu dibungkam. Nah saya mencoba menganalisis Kasus Hukum Bank Century, yang merupakan salah satu kasus besar yang masih belum terkuak hingga hari ini, kasus yang melibatkan pemerintah yang dalam hal ini mengambil kebijakan menggelontorkan dana 6,1 T. Adapun permasalahan ini saya menganalisisnya dari sudut pandang hubungan hukum dengan kekuasaan bukan pada substansi mekanisme kebijakan yang digunakan pemerintah tentunya dengan menggunakan teori hukum klasik yang diungkapkan oleh pemikiran filsuf Ionia yang melihat hukum sebagai tatanan kekuatan.

Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar memahami keterfokusan saya pada kasus ini. Pertama, kasus Bank Century berkaitan dengan dana yang besar, namun kontribusi terhadap masyarakat sangat kecil. Kedua, kebijakan bail-out hanya melibatkan satu pemerintahan dan berlangsung sangat singkat. Ketiga, DPR periode sebelumnya menggantung permasalahan tersebut beserta peraturannya. Keempat, kasus Bank century dapat dijadikan alat untuk menaikkan popularitas partai di kalangan masyarakat. Kelima, Pemerintah pada waktu dikeluarkannya kebijakan terpilih kembali paska Pilpres 2009. Keenam, kasus Bank Century oleh para politisi rival pemeritah saat ini, dipandang sebagai kolam ikan yang sangat menarik, sehingga banyak yang bermain. Kemenangan demokrat sebagai “penguasa” di parlemen sangatlah berpengaruh terhadap penuntasan kasus ini. Walaupun pada akhirnya DPR sebagai representasi rakyat memutuskan untuk menolak kebijakan ini dan ingin dituntaskan melalui jalur hukum. Namun seperti dinalai banyak kalangan, keputusan itu merupakan sebuah retorika belaka yang tidak menghasilkan apa-apa terlebih KPK sebagai lembaga yang katanya “independen” hanya diam tanpa suara untuk mengusut kasus ini. Seakan-akan KPK “berhutang budi” dengan pemerintah yang telah menyelamatkan pimpinannya pada kasus yang diduga kriminalisasi KPK.

Ada benang merah yang kuat dalam kasus penegakan hukum ini, khususnya mengenai hukum dan politik. Hukum dilihat sebagai sebuah tatanan kekuataan yang sangat mempengaruhi praktik ber-hukum. Dan inilah yang melatar belakangi saya membahas dengan menggunakan perspektif teori hukum sebagai tatanan kekuataan. Ada korelasi yang sangat kuat disini, dan menurut saya teori-teori hukum yang mengedepankan nilai kurang relevan untuk menjawab kasus ini. Dalam teorinya memang hukum memang merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.[4] Tetapi saya tidak sepakat dalam hal karena realitanya bertolak belakang dengan teori namun untuk saat ini saya sepakat dengan apa yang dikatakan salah seorang filsuf asal Jerman F. Nietzsche yang menentang ajaran plato, socrates yang mengedepankan tuntunan nilai terhadap manusia dalam berhukum. Manurut Nietzsche, manusia itu tidak dituntun oleh kehendak nilai dalam ber-hukum, namun aslinya ia akan dikendalikan oleh ‘kehendak yang kuasa” atau kehendak yang berkuasa. Semua yang ada dijagat raya ini berusaha eksis dalam keadaan bersaing untuk terus saling menguasai.

Hukum sebagai tatanan kekuatan merupakan teori dari barisan para filsuf Yunani sebelum abad ke 6 Masehi. Teori ini melahirkan pemikiran bahwa kekuatan adalah merupakan inti dari tatanan alam. Manusia sebagai bagian dari alam, tidak lepas dari hal tersebut. Hukum mencerminkan kosmologi tersebut. Hukum merupakan tatanan yang dikuasai logika kekuatan. Hukum adalah rumus-rumus untuk tetap bisa “survive” karena persoalan paling pokok dalam hidup manusia adalah sederhana yakni : “ada” atau “lenyap”. Dan ini berlaku untuk semua mahkluk hidup. Dalam kasus Century pemerintah dan partai pemerintah terkesan berusaha untuk menghalangi pengusutan kasus ini, karena kasus ini dinilai bisa menjadi boomerang terhadap pemerintahan dan peta politik selanjutnya. Dikhawatirkan akan menjatuhkan citra partai dalam pemilu selanjutnya yang tentunya ini akan melenyapkan Partai demokrat dari kursi kekuasaan kelak. Secara tidak langsung ada usaha keras untuk mempertahankan eksistensi “survive” Partai demokrat disini.

Jelas kiranya bahwa hukum dalam pandangan aliran ini, memungkinkan berlangsung hubungan arus kuat lemah. Karena dalam struktur sosial selalu ada pihak yang dominan, maka dimungkinkan hukum tersebut menjadi alatnya orang “kuat” dalam hal ini bisa kita artikan sebagai penguasa. John Austin, salah seorang pengikut teori positivisme Hukum yang juga merupakan seorang ahli hukum Inggris yang terkenal dengan ajaran analytical Jurisprudence menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya lansung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara, dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama. Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun jelas dirasakan tidak adil.[5] Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.[6] Lihat saja Partai demokrat yang menguasai mayoritas parlemen dan memenangkan pemilu presiden sudah mulai memanfaatkan kekuasannya secara “unlimited” walau tidak terang-terangan seperti pada masa orde baru, tetapi lebih terkesan dikemas secara laten (tersembunyi).

Dengan demikian dogmatik hukum (ilmu hukum positif), teori hukum, filsafat hukum pada akhirnya harus diarahkan kepada praktik hukum. Praktik hukum menyangkut dua aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum.[7] Kedua aspek tersebut diharapkan mampu mengatasi gejala hukum yang timbul dimasyarakat sebagaimana tertuang dalam dogmatik hukum.

DAFTAR BACAAN

Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta, 2009, hal. 9.

Bernard L Tanya, Yoan Simanjuntak, Markus Y.Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia

Lintas Ruang dan Generasi, Genta Pubilishing, Yogyakarta, 2010, hal. 1-2

Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010

Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya

Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 6



[1] Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009, hal. 9.

[2] Bernard L Tanya, Yoan Simanjuntak, Markus Y.Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Pubilishing, Yogyakarta, 2010, hal. 1-2

[3] Ibid.

[4] Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010

[5] Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 6

[6] Ibid

[7] Ibid, hal. 10.

Senin, 11 Oktober 2010

SEDERHANA TAPI INSYALLAH BERMANFAAT

Ditulis oleh :

Arif Rahman Maladi

Tidak semua orang berpikir logis, kebanyakan dari manusia memang seringkali berprasangka dan sebagian besar dari manusia terkadang sudah terkontaminasi oleh pendapat yang sudah terbentuk sebelumnya dengan rasa iri, curiga, takut, cemburu dan keangkuhan. Saya yakin tak seorangpun yang ada di atas bumi senang ketika pendapatnya didebat.

Dalam catatan saya ingin share kepada rekan-rekan semua, yang mungkin saja seringkali mengalami perdebatan secara informal dan terkadang tidak ada penengahnya. Menurut saya perdebatan tanpa ada penengah pastinya akan mengakibatkan ketidaknyamanan yang berujung pada debat kusir, Bahkan bisa saja jika kita tidak mampu menahan emosi akan menimbulkan kesalahpahaman yang berakhir pada terancamnya hubungan baik kita dengan teman kita berdebat. Manusia memang kerap kali berbeda pendapat, ya bisa saja hal ini dikarenakan berbagai faktor, baik itu kebiasaan, refrensi teori yang dimiliki, pendidikan, agama,dsb. Dan hal ini menurut saya suatu hal yang wajar karena begitulah hidup, selalu ada warna disetiap bagiannya.

Kalau seseorang membuat satu pernyataan yang menurut pendapat anda salah atau kurang sesuai dengan pemahaman dari sudut pandang anda, atau bahkan bila anda tahu bahwa itu memang jelas salah, alahkah baiknya jika kita menggunakan pendekatan psykologi sebelum mengeluarkan pendapat anda. Kita bisa menggunakan pilihan kalimat yang pas sebelum memulai mengutarakan pendapat, alangkah bijaknya anda jika anda memulai dengan sikap tenang dengan intonasi suara yang nyaman serta sikap tidak mendebat. misalnya dengan menggunakan kalimat pembuka "baiklah kawan/rekan, menurut saya hal ini adalah sebaliknya”, namun mungkin saja saya salah, saya memang sering salah dan kalau salah saya sangat ingin di perbaiki, kalau menurut pendapat saya................................. dan sebagai penutup argumentasi. anda bisa menggunakan kalimat : ya kalau menurut saya seperti itu,bagaimana tanggapanmu kawan/bro/dsb? Anda bisa kembali mengumpan balik atas argumen anda kepada orang yang mengeluarkan pendapat diawal itu tentunya dengan sikap yang respect (menghargai) dan memberikan kesempatan yang terbuka kepada orang tersebut dengan berlaku sebagai pendengar yang baik, tanpa memotong disela-sela pembicaraan ketika menurut anda terjadi perbedaan. Anda harus mendengarkan dengan baik, hingga ia selesai menanggapi pendapat anda.

Pendekatan seperti itu sudah cukup untuk melucuti senjata dan pada saat lawan bicara anda mengeluarkan perasaannya biasanya dia bersikap jauh lebih masuk akal dan logis begitu sampai pada penyelesaian masalah. Kalau anda mau mengungkapkan pada permulaannya bahwa anda mungkin saja salah, saya yakin cara itu akan menghentikan semua perdebatan dan mengilhami lawan bicara anda untuk menjadi sama adilnya, terbuka dan berpikiran luas seperti anda, ini akan membuatnya ingin juga mengakui bahwa dia mungkin juga salah. Saya mengutip pemikiran Dale Carnegie dalam bukunya “How to win friends and influence people” (Bagaimana mencari kawan dan mempengaruhi lain) bahwa dalam membangun komunikasi yang efektif sikap Respect adalah salah satu sikap yang paling utama. Sikap ini efektif untuk menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang ingin kita sampaikan. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum yang pertama dalam kita berkomunikasi dengan orang lain. Ingatlah bahwa pada prinsipnya semua manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita bahkan harus mengkritik atau memarahi seseorang, lakukan dengan penuh respek dan dengan sikap tenang tanpa harus mengeluarkan nada-nada tinggi dalam menguatkan argumentasi kita. Dengan sikap tenang dan nyaman akan memberikan penghargaan tersendiri terhadap harga diri dan kebanggaaan seseorang. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka kita dapat membangun kerjasama yang menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan efektifitas kinerja kita baik sebagai individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim. Ingatlah bersikaplah diplomatis ketika terjadinya suatu perbedaan pendapat, buka sebanyak mungkin pintu, lakukan sebanyak mungkin cara dan yang terpenting disini adalah fleksibel-lah dalam mengatasi segala permasalahan anda. jika anda mau melatihnya tidak ada masalah yang tidak bisa anda selesaikan dengan cara anda yang anggun.

Hal ini diatas mungkin sepele bagi kita semua, tapi saya yakin ini akan bermanfaat bagi anda untuk membangun persahabatan/persaudaraan(silaturahmi). Insyallah...amiin

Rabu, 06 Oktober 2010

Degradasi Nilai-Nilai Demokrasi

DEGRADASI NILAI-NILAI DEMOKRASI

PASCA SISTEM PEMILUKADA LANGSUNG

Oleh :

Arif Rahman F.S,S.H

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM- Yogyakarta

Proses transisi kehidupan bernegara saat ini sedang dirasakan bangsa Indonesia, berawal ketika keruntuhan rezim orde baru melalui gerakan reformasi pada tahun 1998, hingga saat ini bangsa Indonesia masih terus berjuang menata kembali kehidupan kenegaraan menjadi lebih demokratis lagi. Proses menuju sistem demokrasi dalam khazanah teori disebut sebagai demokratisasi. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat[1]. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Dengan demikian pengertian demokrasi itu sendiri adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Proses demokratisasi terbagi dalam dua aspek yakni transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi.

Di Indonesia keruntuhan rezim otoritarian lama adalah awal dimulainya suatu transisi demokrasi yang kemudian dilanjutkan dengan aspek konsolidasi. Proses konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. Menurut Samuel Huntington[2] bahwa ada tiga kemungkinan model demokratisasi yakni, pertama, transformasi (reforma) yaitu demokratisasi terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori proses perwujudan demokrasi. Kedua, Replacement (ruptura), yaitu demokratisasi terjadi ketika kelompok oposisi mempelopori proses perwujudan demokrasi, dan rezim otoriter tumbang atau digulingkan. Ketiga,Transplacement (ruptforma), yaitu demokratisasi terjadi sebagai sebuah hasil tindakan bersama antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi. Untuk di Indonesia sendiri,lebih tepat kiranya kalau proses demokratisasi disebutkan menggunakan model Replecement (ruptura). Ini tergambar karena pihak oposisi yang mempelopori pergerakan 1998 terbukti mampu “menumbangkan” rezim yang berkuasa, hingga akhirnya untuk pertama kali pihak oposisi memenangkan pemilu pada tahun 1999. Proses konsolidasi demokrasi jauh lebih kompleks dan panjang setelah transisi demokrasi. Hal ini disebabkan karena adanya negosiasi (transaksi) politik, yang terkadang disalah satu pihak hendak mempromosikan sistem atau aturan main baru namun tidak juga merusak sistem lama.

Dalam proses konsolidasi inilah struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama proses transisi akan dimantapkan. Hal ini bertujuan agar proses konsolidasi menghasilkan penetapan sistem demokrasi yang secara operasional diharapkan akan memperoleh kredibilitas di hadapan masyarakat. Re-Konstitusi (Amandemen) konstitusi adalah salah satu wujud nyata dari implementasi konsolidasi demokrasi. Re-konstitusi ini diharapkan memberikan jaminan bagi prosedur tetap pembuatan keputusan politik, yang pada akhirnya, implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem politik dan institusi politik. Berdirinya lembaga negara baru seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial,dan sebagainya serta penghapusan beberapa lembaga negara yang dianggap sudah tidak relevan lagi adalah salah satu konskuensi terjadinya demokratisasi. Salah satu “produk” demokratisasi pasca reformasi yang menarik adalah penerapan kembali sistem otonomi daerah seluas-luasnya dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung (pemilukada). Semangat pemberlakuan otonomi daerah ini dilatar belakangi oleh desakan dari daerah-daerah yang menilai pemerintahan sebelumnya cenderung sentralistik, yang berakibat terjadinya ketimpangan pembangunan di Indonesia, sedangkan semangat pemilihan kepala daerah secara langsung dilatar belakanngi oleh harapan agar rakyat didaerah lebih mengenal secara dekat pilihannya untuk memimpin pemerintahan didaerah. Namun sejak diterapkannya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung pada Juli 2005, ternyata belum mampu menyelesaikan permasalahan di daerah, melainkan makin menimbukan banyak masalah. Tingkat korupsi makin tinggi, banyak terjadi penyalahgunaan wewenang kepala didaerah dan ketidakprofesionalan para pemimpin untuk memberikan pelayanan terbaik buat rakyatnya didaerah sudah menjadi fenomena yang biasa. Teori dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat yang merupakan nilai-nilai dalam demokrasi jauh dari harapan. Pemilukada langsung telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang jauh dari harapan rakyat. Hal ini disebabkan karena praktik demokrasi lokal selama ini lebih banyak diwarnai dengan sejumlah eforia diatas fondasi yang masih sangat rapuh. Rakyat masih belum siap menerima perubahan dari mass politics society menuju civil society. Sekarang Indonesia masih dalam sekuen masyarakat transisi, yakni yang kita sebut sebagai mass-politics society[3]. Proses politik dan demokrasi di Indonesia lebih banyak ditentukan oleh kuantitas massa yang dimobilisir (mobilized mass), bukan oleh visi, kebajikan maupun organized mass.

Munculnya Paradigma kekuasaan, kewenangan dan kekayaan menjadi salah satu yang mempengaruhi dan tentunya masih benar-benar dipegang betul oleh para pemegang jabatan politik dalam hal ini para pemimpin di daerah menjadi sebuah jawaban kenapa janji-janji politik tidak terwujud. Ketika terpilih, mereka kerap kali kehilangan visi dan misi untuk memanfaatkan kekuasaan dalam memperjuangkan nilai, sebagaimana mereka ungkapkan pada saat menjelang pemilukada, namun telah bergeser pada orientasi bagaimana mencari dan mempertahankan kekuasaan. Hubungan harmonis pasangan kepala daerah yang terpilih biasanya hanya seumur jagung, dan terjadi ditahun pertama. Setelah itu kepala daerah dan wakilnya saling memperebutkan pengaruh politik untuk memperbutkan kursi periode selanjutnya. Para pemimpin tidak peduli lagi pada tanggung jawab lima tahun kedepan kepada rakyatnya, sehingga para pejabat dilingkungan pemda sering merasa bingung untuk menuruti kehendak kepala daerah atau wakil kepala daerahnya yang memang biasanya berbeda kepentingan politik karena dari partai yang berbeda. Otonomi daerah memang telah memberi kesempatan yang terbuka bagi hadirnya aktor-aktor politik baru, termasuk para broker politik. Mereka berasal dari berbagai macam latar belakang seperti : kyai, akademisi, mahasiswa, LSM, pengusaha, tokoh adat, tokoh masyarakat, preman, dan seterusnya. Dalam setiap Pemilukada, para broker politik ini menjadi pemain yang penting,baik dalam membuat opini publik ataupun mengerahkan massa, dengan tujuan untuk mencari kedudukan atau kekayaan. Mengikuti pendapat para filsuf zaman Yunani Kuno, massa yang digerakkan oleh para broker tersebut bukanlah rakyat, warga atau publik yang sejati, melainkan mereka hanyalah sekedar gerombolan massa (the mob) yang sebenarnya merusak demokrasi lokal[4], karena cenderung terorientasi kepada sesuatu misalnya dengan cara permainan politik uang (money politic), dan hal ini sudah menjadi rahasia umum. Pergeseran nilai-nilai juga dapat kita lihat pada organisasi masyarakat (ormas) masyarakat baik itu dibidang keagamaan, sosial dan sebagainya. Banyak sekali ormas-ormas yang telah menyimpang dari koridornya karena sudah ikut “terkontaminasi” oleh kepentingan politik. Kesimpulan yang bisa kami ambil pada tulisan ini adalah sebagai berikut: Pemilukada sebagai perwujudan demokrasi lokal terkesan kuat bahwa hanya terfokus pada pemilihan, dan sebuah perayaan politik yang sarat dengan pesta, kompetisi, sensasi, mobilisasi, money politics, intrik, caci-maki, dans sebagainya.euforia lokal semata. Pemilukada hanya sekedar eforia belaka. Efouria adalah kegembiraan sesaat, yang menggambarkan bahwa proses politik hanya berlangsung dalam situasi darurat jangka pendek. Kegembiraan jangka pendek itu tidak bakal membuahkan demokrasi lokal yang kokoh dan berkelanjutan, kecuali hanya membuahkan kekecewaan dan ketidakpercayaan. Eforia ini hanya datang dan pergi begitu saja berbarengan dengan pesta politik. Eforia ini selanjutnya akan berubah menjadi kekecewaan ketika pesta telah usai, tetapi ia akan datang lagi kala pesta bakal digelar kembali, begitulah yang terjadi di Indonesia saat ini.



[1] Wikipedia Bahasa Indonesia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi diakses pada 22 September 2010

[2] Samuel P. Huntington, 1995, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta : Grafiti).

[3] Sutoro Eko, Efouria Demokrasi Lokal dalam www.ireyogya.org/sutoro/eforia_demokrasi_lokal diakses pada 22 September 2010

[4] Ibid,.

“SISTEM DEMOKRASI ALA INDONESIA”

Oleh :

Arif Rahman F.S, S.H

NIM. 10/306216/PHK/6358

MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2010


A. Latar Belakang

Pasca pergerakan reformasi 1998, telah membawa Indonesia keluar dari belenggu sistem otoriter yang telah berkuasa tak kurang dari 32 tahun, sebagian orang melihat ini ini adalah peristiwa besar Indonesia dalam melakukan sebuah reformasi pemerintahan. Indonesia telah mampu tampil sebagai kampiun kebebasan dan demokrasi bagi negara-negara di Asia Tenggara. Jika dilihat dari tolok ukur sebelum reformasi, hampir semua tolok ukur menunjukkan Indonesia belum berhak menjadi demokrasi. Hal ini bisa dikatakan sebagai suatu keberhasilan dan memiliki prestise sendiri bagi bangsa Indonesia yang patut disyukuri. Dari pengalaman transisi di Indonesia jika dibandingkan dengan pengalaman negara lain, baru kali ini demokrasi berjalan satu dasawarsa lebih ketika keluar dari otoriterisme. Kita bisa bandingkan misalnya, dengan Rusia, ketika lepas dari rezim komunisme dan melakukan reformasi pada tahun 1991, Rusia semakin lama bukannya semakin demokratis namun semakin melorot ke arah otoriterisme[1].

Ditengah semangat bangsa Indonesia merayakan demokrasi, bangsa Indonesia juga perlu menerima kekurangan dan kelemahannya sistem demokrasi itu sendiri. Betapa Indah dan bagusnya bilamana penerimaan terhadap segala kekurangan dan kelemahan yang timbul dalam demokrasi dilakukan dengan lapang dada. Walaupun belum dapat menerimanya dengan antusias, paling tidak kelemahan tersebut dapat diterima sebagai suatu yang menjengkelkan. Sebab, dalam periode yang sama, demokrasi di Indonesia juga menampilkan peristiwa dan gejala yang menimbulkan keraguan terhadap masa depan dan daya tahan demokrasi.

Demokrasi adalah bentuk negara yang sulit. Ahli politik Theodor Eschenburg mengatakan bahwa demokrasi harus benar-benar jelas. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang begitu rumit sehingga orang hanya akan memahaminya jika ia telah dipelajari dengan baik sebelumnya. Jadi, kita harus “menjelaskan” dulu apa itu demokrasi. Karena hanya yang tahu demokrasi dan cara fungsinya sajalah yang akan mengenali nilai demokrasi, mendukungnya serta mengorganisasikannya, dan bahkan mungkin memperjuangkannya.

Demokrasi di Indonesia belum mempunyai gambarannya yang utuh. Masih dibutuhkan strategi untuk menata konstitusi baik dari segi pelembagaan yang akan memberikan desain kerja bagi lembaga-lembaga negara berdasarkan fungsi dan tugasnya serta sistem demokrasi yang mampu mengimplementasikan hakekat demokrasi itu sendir agar mampu untuk menciptakan kehidupan bernegara yang demokratis dan sesuai dengan konstitusi. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, bangsa Indonesia masih berada dalam tahap transisi demokrasi di mana kecenderungan besar konstitusinya (UUD 1945) menempatkan negara dalam model konstitutif. Hal ini bisa dimaknai sebagai sebuah usaha yang positif dalam rangka menggerakkan dinamika dan harapan akan tegaknya aturan hukum, khususnya yang berhubungan dengan proses politik dalam mengatur negara[2].

Tulisan ini berusaha untuk melihat demokrasi sebagai sebuah sistem kenegaraan Indonesia yang baru lahir dan masih perlu nutrisi yang baik dalam rangka menemukan sebuah sistem demokrasi yang benar-benar ala Indonesia, sehingga mampu diterima dan dipahami masyarakat. Masih terdapatnya banyak permasalahan pasca amandemen konstitusi, merupakan sebuah petunjuk bahwa proses instalisasi demokrasi ala Indonesia ternyata belum sepenuhnya selesai. Baik mengenai persoalan pengaturan lalu lintas institusional antar lembaga-lembaga negara dan kewenangannya, sistem kenegaraan yang dipilih antara sistem presidensial dan parlementer masih belum memiliki kejelasan. Persoalan yang ingin diulas dalam tulisan ini adalah Model demokrasi seperti apa yang mampu dan cocok diterapkan di Indonesia atau dalam bahasa yang lebih dekatnya adalah model demokrasi yang ala Indonesia bagaimana yang cocok tumbuh subur di tanah air Indonesia.

B. PEMBAHASAN

1. Mengenal Demokrasi Di Indonesia Lebih Dalam

Sebelum penulis menjelaskan pokok permasalahan yang ingin dibahas, alangkah baiknya kita bilamana berkenalan dulu dengan “makhluk” bernama demokrasi. Secara harfiah demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein berarti kekuasaan, sehingga secara sederhana dapat dikatakan sebagai kekuasaan rakyat[3]. Sehingga konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.menurut Robert A Dahl[4] ada enam prinsip yang harus ada dalam sistem negara demokrasi:

1. Para pejabat yang dipilih oleh warga negara (pemerintahan demokrasi modern ini merupakan demokrasi perwakilan)

2. Pemilihan umum yang jujur, adil, bebas, dan periodic

3. Kebebasan berpendapat

4. Warga negara berhak mencari sumber-sumber informasi alternatif;

5. Otonomi asosiasional, yakni warga negara berhak membentuk perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan

6. Hak kewarganegaraan yang inklusi

Berbeda halnya ketika membicarakan pengertian demokrasi dari sudut pandang ilmu politik, yang lebih menjelaskan bahwa demokrasi merupakan suatu bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut[5]. Pericles, negarawan Athena yang hidup pada tahun 430 SM mengatakan bahwa Demokrasi mengandung beberapa kriteria penting yakni: pertama, pemerintahan oleh rakyat yang dibangun dari dukungan atau partisipasi rakyat yang mayoritas secara langsung dan kedua, kesamaan warga negara di depan hukum yang berupa penghargaan terhadap wilayah privat (pemenuhan HAM-dalam konteks kekinian) untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian.

Jadi bisa kita perhatikan, secara sederhana demokrasi merupakan sebuah sistem pengambilan kebijakan yang sangat tergantung dengan bagaimana budaya (culture) dan sejarah (history) sebuah negara atau bangsa, serta bagaimana legitimasi itu diberikan kepada pemerintah selaku pihak yang menjalankan fungsinya Perlindungan HAM dan pembangunan perdamaian menjadi tujuan akhir yang secara universal dan nyaris setiap negara yang menklaim dirinya bersistem demokrasi ingin dicapai. Demokratisasi dan politik yang ada di setiap negara seringkali diasumsikan sebagai satu paket yang saling beriringan dan sinergi satu dengan yang lainnya. Komposisi keduanya tak jarang menghasilkan benturan-benturan keras dalam konsolidisi. Kekuatan lama dan kekuatan baru yang sama-sama berkepentingan saling berebut lembaga-lembaga Negara yang tersedia. Bagi publik khususnya, fenomena demokrasi ini telah menyiratkan gambaran buruknya liberalisasi politik, yang kerapkali ditemukan pada wajah parpol yang menghasilkan legislator buruk dan hanya bisa membuat legislasi yang merugikan publik.

Prinsip-prinsip negara demokrasi yang telah disebutkan di atas kemudian dituangkan ke dalam konsep yang lebih praktis sehingga dapat diukur dan dicirikan. Ciri-ciri ini selanjutnya dijadikan parameter untuk mengukur tingkat pelaksanaan demokrasi yang berjalan di suatu negara. Parameter tersebut meliputi empat aspek. Pertama, masalah pembentukan negara. Proses pembentukan kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kualitas, watak, dan pola hubungan yang akan terbangun. Pemilihan umum dipercaya sebagai salah satu instrumen penting yang dapat mendukung proses pembentukan pemerintahan yang baik. Kedua, dasar kekuasaan negara. Masalah ini menyangkut konsep legitimasi kekuasaan serta pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Ketiga, susunan kekuasaan negara. Kekuasaan negara hendaknya dijalankan secara distributif. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemusatan kekuasaan dalam satu tangan..Keempat, masalah kontrol rakyat. Kontrol masyarakat dilakukan agar kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau negara sesuai dengan keinginan rakyat.

Perkembangan demokrasi di Indonesia dari segi waktu dapat dibagi dalam empat periode, yaitu[6] :

1. Periode 1945-1959 Demokrasi Parlementer

Demokrasi pada periode ini sering kita kenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Meskipun sistem ini dapat berjalan dengan memuaskan di beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya persatuan bangsa. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.

2. Periode 1959-1965 (Orde Lama) Demokrasi Terpimpin

Dalam pandangan Prof.A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai “Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif.

3. Periode 1965-1998 (Orde Baru) Demokrasi Pancasila

Ciri-ciri demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat mendominasi pemerintahan, terbatasnya peran partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah

4. Periode 1998-sekarang( Reformasi )

Orde reformasi ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatan presiden kemudian diisi oleh wakil presiden, Prof. DR. Ir. Ing. B.J. Habibie. Turunnya presiden Soeharto disebabkan karena tidak adanya lagi kepercayaan dari rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru. Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis karena dalam fase ini akan ditentukan ke mana arah demokrasi akan dibangun yang selanjutnya kita akan sampai pada bagian konsolidasi demokrasi. Dalam proses konsolidasi inilah struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama proses transisi akan dimantapkan. Hal ini bertujuan agar proses konsolidasi menghasilkan penetapan sistem demokrasi yang secara operasional diharapkan akan memperoleh kredibilitas di hadapan masyarakat. Re-Konstitusi (Amandemen) konstitusi adalah salah satu wujud nyata dari implementasi konsolidasi demokrasi. Re-konstitusi ini diharapkan memberikan jaminan bagi prosedur tetap pembuatan keputusan politik, yang pada akhirnya, implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem politik dan institusi politik.

2. Pancasila Sebagai Landasan Nilai Demokrasi Ala Indonesia.

Rumusan tentang dasar negara merupakan rumusan tentang pengakuan bersama mengenai prinsip-prinsip bersama suatu negara dan bangsa, yang disandarkan pada nilai-nilai yang ada dan secara alamiah tumbuh dan berkembang pada masyarakatnya. Perjalanan sejarah pembentukan dasar negara Indonesia sebenarnya telah menunjukan kepada kita bersama bahwa telah terjadi perdebatan yang kuat antara kelompok pendukung garis dasar Islam dan kelompok pendukung dasar negara kebangsaan atau yang lebih akrab kita kenal sebagai negara pancasila. Walaupun terjadi pertentangan dan perdebatan dasar negara mana yang digunakan oleh bangsa Indonesia pada akhirnya dengan argumen dan kekuatan politik yang mendukung pada saat itu telah mengokohkan Pancasila sebagai sebuah dasar dan ideologi negara.

Dari segi hukum, kedudukan pancasila telah melahirkan suatu tatanan sistem baru yang khas, pancasila merupakan curahan pikiran bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan negara yang mampu mensejahterakan rakyatnya. Pancasila menjadi rambu-rambu dalam melahirkan kaidah penuntun dalam politik hukum nasional bangsa Indonesia. Rambu yang paling umum tentunya adalah adanya larangan bagi munculnya hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai pancasila. Bagitu juga dengan demokrasi yang ada di Indonesia harus sesuai dengan prinsip-prinsip pancasila sebagai sebuah ideologi dalam menentukan demokrasi ala Indonesia.Tidak boleh ada demokrasi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, baik itu nilai ketuhanan, keagamaan, kemanusiaan yang keberadaban, persatuan bangsa, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan sebagainya.

Penafsiran Pancasila sebagai dasar negara, seharusnya tidak boleh diperumit oleh berbagai pemikiran teoritis. Karena itu, satu satunya penafsiran yang benar adalah oleh dan dengan konstitusi. Dengan demikian dasar negara Pancasila ketika berfungsi sebagai pembentuk sistem, struktur, dan kultur bernegara (three element of state) terdapat dalam Undang Undang Dasar (UUD). Ini adalah kata kunci dalam melihat hal ini, sehingga tafsir di luar konstitusi hanyalah bagian dari diskursus yang dihormati tetapi tidak mengandung ikatan konstitusional.

Indonesia menganut demokrasi yang berdasarkan Pancasila, dan saat ini masih dalam taraf perkembangan dalam menemukan jati dirinya pasca runtuhnya orde baru. Satu hal yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam Undang Undang Dasar 1945. Selain dari itu Undang-Undang Dasar kita menyebut secara eksplisit 2 prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang dicantumkan dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara, yaitu[7]:

a. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat).Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat).

b. Sistem Konstitusionil, Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarkan 2 istilah Rechstaat dan sistem konstitusi, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilana, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.

Sedangkan prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila yang terkadung menurut Ahmad Sanusi[8] ada sepuluh yakni:

A. Demokrasi yang Berketuhanan Yang maha Esa

B. Demokrasi dengan kecerdasan

C. Demokrasi yang berkedaulatan rakyat

D. Demokrasi dengan rule of law

E. Demokrasi dengan pemisahan kekuasaan Negara

F. Demokrasi dengan hak asasi manusia

G. Demokrasi dengan pengadilan yang merdeka

H. Demokrasi dengan otonomi daerah

I. Demokrasi dengan kemakmuran

J. Demokrasi yang berkeadilan sosial

Demokrasi Pancasila mendasarkan diri pada faham kekeluargaan dan Kegotong-royongan yang ditujukan untuk: Kesejahteraan rakyat, Mendukung unsur-unsur kesadaran hak ber-ketuhanan Yang Maha Esa, Menolak atheism, Menegakkan kebenaran yang berdasarkan kepada budi pekerti yang luhur, Mengembangkan kepribadian Indonesia, Menciptakan keseimbangan perikehidupan individu dan masyarakat, jasmani dan rohani, lahir dan bathin, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan Tuhannya.

Demokrasi Pancasila seperti yang telah diatas merupakan suatu ke-khasan bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan kenegaraannya dan hal ini tentunya berbeda dengan bangsa lainnya, semangat gotong royong dan kekeluargaan menjadi poin penting dalam demokrasi pancasila, karena merupakan perwujudan semangat rakyat secara kultural. Proses perwujudannya demokrasi (kedaulatan rakyat) tercermin dalam sila ke empat yang berbunyi : “Permusyawatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusawaratan/ perwakilan”, Memiliki makna bahwa kedaulatan rakyat dapat diselenggarakan secara langsung atau melalui perwakilan. Prinsip ini menganut pembagian kekuasaan (distribution of power) atau pemisahan kekuasaan (separation of power) antara Lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Kedaulatan rakyat dalam perspektif Pancasila melihat distribution of power maupun separation of power dalam prinsip checks and balances.

Salah satu produk menarik demokrasi pancasila pasca amandemen adalah terjadinya semacam metarfose mekanisme kedaulatan rakyat dalam konstitusi, dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan disebutkan : “ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Hal ini menunjukan bahwasanya pemegang supremasi adalah konstitusi. berdasarkan amandemen tersebut, mekanisme pelaksanaan kedaulatan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam Konstitusi, UUD 1945. Presiden menjalankan kedaulatan rakyat untuk menjalankan pemerintahan negara. DPR menjalankan kedaulatan rakyat untuk membentuk undang-undang dan mengawasi Presiden. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menjalankan kedaulatan rakyat dalam bidang yudikatif dan peradilan.

Sebagai konstitusi, UUD 1945 pasca amandemen mengatur mengenai mekanisme demokrasi politik yaitu ketentuan-ketentuan tentang sistem pemilihan anggota legislatif DPR, DPD atau DPRD, Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota, dalam berbagai pasal, yang sebelumnya tidak dituangkan secara tegas dalam UUD 1945 pada masa orde baru. Mekanisme demokrasi yang menjamin terlaksananya kedaulatan rakyat dalam pengisian jabatan-jabatan lembaga negara diatur dalam satu pasal khusus yaitu pasal 22 E. Pasal tersebut juga mengatur tata cara pemilu, termasuk ketentuan pendirian lembaga independen Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) langsung tahun 2004 untuk memilih calon legislatif disusul memilih presiden dan wakil presiden secara langsung dalam dua tahapan menjadi hajatan besar pertama demokrasi yang didambakan bangsa Indonesia. Dunia pun memuji dan mendaulat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika serikat dan India. Praktik pemilihan langsung ditataran pemerintah pusat, kemudian diujicobakan di tingkat daerah. Pada tahun 2005, kepala-kepala daerah di seluruh Indonesia untuk pertama kalinya dipilih langsung oleh rakyatnya. Namun proses transisi demokrasi untuk mewujdkan nilai-nilai Pancasila memang masih jauh dari harapan. Demokrasi masih melalui proses evolusi alamiah menuju yang didambakan bersama.

Kita mungkin saja bisa sapakat secara prosedural demokrasi telah memberikan kebaikan kepada bangsa ini, yakni dengan perwujudan dan adanya jaminan konstitusi dan hukum mengenai perlindungan warga negara, terwujudnya praktek pemilihan umum dan pemilukada secara langsung, dan beberapa kebaikan yang selama rezim orde baru berkuasa tidak pernah diperoleh. Tetapi yang perlu menjadi catatan kita adalah, kita belum melihat perkembangan demokrasi pancasila secara substansial pasca runtuhnya orde baru. Dua belas tahun memang belum cukup untuk menggapai kebaikan demokrasi secara substansial. Untuk mencapainya harus melewati prosedural yang mungkin membutuhkan waktu yang lama. Menyaksikan kebaikan demokrasi prosedural yang berjalan lancar. Meskipun di beberapa pilkada diwarnai sengketa hingga berujung konflik fisik, membuat kita tetap optimis. Jika proseduralnya berjalan lancar maka substansinya akan tercapai. Demokrasi adalah sesuatu yang dinamis. Ia senantiasa bergerak atau berubah. Kadang-kadang negatif (mundur), kadang-kadang positif (berkembang maju). Oleh karena itu, Ideolog Partai Demokrat Jerman Willy Eichler mengatakan, demokrasi bukanlah suatu nilai statis yang terletak di suatu tempat di depan kita, lalu kita bergerak menuju ke sana untuk mencapainya.

Lahirnya lembaga-lembaga negara baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia dalam konstitusi pasca amandemen, perlu kita berikan apresiasi. Sebagai contoh, berdirinya Mahkamah Konstitusi,keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Sampai sekarang baru ada 78 negara yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri[9]. Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka ketika para the faounding father merancang konstruksi negara Indonesia Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini[10].

Pada saat pembahasan amandemem UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali, karena belajar dari pengalaman sebelumnya pada saat orde baru berkuasa, Konstitusi sering disalahartikan secara multi tafsir oleh pengemban demokrasi yang bertujuan untuk melanggengkan kepentingan praktisnya. setelah Amandemen UUD 1945 pada era reformasi telah menjadikan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi.[11] Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional untuk menghadirkan lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang (UU) melainkan juga atas UU terhadap UUD. Kewenangan melakukan pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran itu, maka berdirilah lembaga pengawal dan penafsir konstitusi. Mahkamah konstitusi diharapkan memiliki jiwa yang sensitif untuk melindungi hak konstitusional rakyat, yang memang terkadang dilanggar oleh undang-undang yang dibuat oleh “penguasa” .

3.Demokrasi Pancasila Adalah Milik Bangsa Indonesia

Melalui amandemen konstitusi pada era reformasi, Bangsa Indonesia secara tegas telah menyatakan dirinya sebagai negara hukum[12]. Dengan demikian jelas halnya bahwa konstitusi bangsa Indonesia menganut prinsip demokrasi sekaligus nomokrasi (kedaulatan hukum). Demokrasi merupakan penyerahan kepada rakyat untuk mengambil keputusan-keputusan politik dalam hidup bernegara, sedangkan nomokrasi merupakan penyerahan kepada hukum untuk menyelesaikan berbagai hal yang berusaha mencederai demokrasi dan hak-hak rakyat[13]. Dengan demikian ada sinergi antara demokrasi dan nomokrasi. Mantan Presiden RI, (Alm) KH.Abdurahman Wahid atau yang biasa kenal dengan Gus Dur pernah pernah menyatakan dalam penataran P-4 kala itu bahwa sesungguhnya demokrasi akan tercipta ketika ada kedaulatan hukum (nomokrasi).

Sistem Demokrasi Pancasila atau yang penulis sebutkan sebagai sistem demokrasi ala Indonesia ini merupakan konsep demokrasi yang memiliki nilai-nilai yang terkandung dan sesuai dengan culture bangsa ini. Pluralisme hukum yang dianut bangsa ini nampak jelas dihargai dalam demokrasi pancasila, Secara teori sistem demokrasi Pancasila merupakan konsepsi prismatik yang memadukan inti nilai yang baik dari berbagai nilai yang saling bertentangan. Konsep Prismatik merupakan kombinasi atas nilai sosial paguyuban dan nilai sosial patembayan. Dua nilai sosial ini saling mempengaruhi warga masyarakat, yakni kalau nilai sosial paguyuban lebih menekankan pada kepentingan bersama dan nilai sosial patembayan lebih menekankan kepada kepentingan dan kebebasan individu. Nilai prismatik diletakan sebagai dasar untuk membangun hukum yang penjabarannya dapat disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang bersangkutan[14].

Maka oleh Mahfudz MD ditegaskan setidaknya ada empat hal supaya prismtika hukum dapat diwujudkan, pertama, Pancasila memadukan unsur yang baik dari paham Individualisme dan kolektivisme. Di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi, namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial. Kedua, Pancasila mengintegrasikan negara hukum yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum the rule of law yang menekankan pada common law dan rasa keadilan. Ketiga, Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as tool of social enginering) sekaligus hukum sebagai cermin rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (living law). Keempat, Pancasila menganut paham relegious nationstate, tidak menganut atau mengendalikan suatu agama tertentu (karena bukan negara agama), tetapi juga bukan hampa agama (karena bukan negara sekuler). Di sini negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agam tanpa diskriminasi berdasarkan pertimbangan mayoritas dan minoritas[15].

Dengan demikian secara substantif konseptual istilah negara hukum Pancasila mewakili semangat demokrasi dan hukum yang berakar budaya bangsa Indonesia. Pemakaian istilah ini juga untuk mewadai berbagai karakter nilai yang tumbuh di Indonesia, seperti, kekeluargaan, kebapakan, keseimbangan, musyawarah, dan keserasian. Karena itu semua merupakan akar dari budaya hukum negeri ini. Karena hukum merupakan pelayan masyarakat sehingga hukum di sini harus sesuai dengan hukum dan akar budaya masyarakat Indonesia.[16]

C. KESIMPULAN

Demokrasi adalah pilihan yang jelek, namun tidak ada yang lebih baik dari demokrasi diantara pilihan-piilihan lain yang juga jelek, seperti monarki absolut, autokrasi, aristokrasi, oligarki, okhlokrasi dan terutama tirani. Demokrasi dianggap paling baik dari sistem lainnya karena menghargai hak-hak dan pilihan –pilihan rakyat meskipun dengan segala kekurangan dan kebodohannya. Demokrasi akan membawa kebaikan jika demokrasi dijalankan sesuai dengan definisi demokrasi itu sendiri: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Orang-orang yang dipercaya mewakili rakyat atau "pengemban demokrasi", menjadi utusan yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebaliknya, demokrasi akan membawa keburukan jika dijadikan sebagai alat oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan gamblang sejarah telah mencatat bagaimana demokrasi menunjukan wajah menakutkan.

Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sangat berciri khas Indonesia atau bisa kita sebut sebagai demokrasi ala Indonesia, tetapi konsepnya sangat sesuai dengan kriteria-kriteria demokrasi yang berlaku umum (universal). Kekhususan demokrasi Pancasila menimbulkan beberapa perbedaan dengan demokrasi yang berlaku di negara lain. Sebagaimana diungkap presiden kita pertama bahwa negara ini juga dilaksanakan dengan prinsip “gotong-royong” yang merupakan cita khas cara kerja Indonesia, maka demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang tidak akan pernah bisa mutlak diindentikan dengan demokrasi negara-negara lain di dunia. Dengan demikian dalam menjalankan kedaulatan rakyat Bangsa Indonesia diikat kultur bernegara atau budaya politik yang bersumber dari nilai-nilai yang terdapat pada sila-sila Pancasila secara utuh.

DAFTAR PUSTAKA

Dyah Listyarini ,2009, Prismatika Nilai Ekonomi dan Nilai Kepentingan Sosial sebagai

Dasar Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II

Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi, Kompilasi Ketentuan

Konstitusi, Undang-Undang dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.

--------------------- , MK Dalam Ketatanegaraan Indonesia, Bahan ceramah

pada Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung, 19 April 2008.

---------------------, MK Dalam Ketatanegaraan Indonesia, Bahan ceramah

pada Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung, 19 April 2008.

Mahfudz MD, “Mimpi Demokrasi Dari Bung Karno, Jawa Pos, 27September 2006.

--------------, 2009, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta: PT Raja

Grafindo

M. Steven Fish and Danielle Lussier, "Society Counts: Public Attitudes, Civic

Engagement,Unexpected Outcomes in Regime Change in Indonesia and Russia," paper yang disampaikan dalam pertemuan tahunan American Political Science Association, Boston, Massachusett, 28-31 Agustus 2008.

M. Faishal Aminuddin, Pelembagaan Demokrasi Konstitusional, Jurnah Konstitusi Vol. 4

tahun 2007,Jakarta: Sekretariat MK.

Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, dalam harian Kompas,

INTERNET dan LAIN-LAIN:

Dalam www.psp.ugm.ac.id/...pancasila/

Dalam http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/04/demokrasi-pancasila.html

Dalam www.mazdabalikpapan.com/Tugas_Sekolah_Online

Undang-Undang Dasar 1945



[1] M. Steven Fish and Danielle Lussier, "Society Counts: Public Attitudes, Civic Engagement,Unexpected Outcomes in Regime Change in Indonesia and Russia," paper yang disampaikan dalam pertemuan tahunan American Political Science Association, Boston, Massachusett, 28-31 Agustus 2008.

[2]M. Faishal Aminuddin, Pelembagaan Demokrasi Konstitusional, Jurnah Konstitusi Vol. 4 tahun 2007,Jakarta: Sekretariat MK, hlm. 84

[3] Dalam Wikipedia Bahasa Indonesia

[5]

[6] Ibid,.

[9] Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk lembaga ini dan merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuknya. Uraian lengkap mengenai MK di 78 negara dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi, Kompilasi Ketentuan Konstitusi, Undang-Undang dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.

[10] Jimly Asshiddiqie , MK Dalam Ketatanegaraan Indonesia, Bahan ceramah pada Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung, 19 April 2008.

[11] Lihat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

[12] Periksa : Pasal 1 ayat 3 UUD 1945

[13] Moh. Mahfud M.D, 2009, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta: PT Raja Gravindo, hlm. 413

[14] Hj. Dyah Listyarini ,2009, Prismatika Nilai Ekonomi dan Nilai Kepentingan Sosial sebagai Dasar Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II, hlm. 1

[15] Mahfudz MD, “Mimpi Demokrasi Dari Bung Karno, Jawa Pos, 27September 2006.

[16] Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, dalam harian Kompas, hlm, 10