“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Selamat Datang di Blog Resmi Arif Rahman Maladi.

Bersama berbagi untuk generasi.

Kamis, 10 November 2011

SELAMATKAN PAPUA

Slice of Papua Conflict

Oleh : Arif Rahman Maladi

Konflik berkepanjangan yang saat ini terus terjadi di Papua merupakan isyarat nyata kepada pemerintah untuk segera melakukan sebuah langkah kongkret demi “menyelamatkan” tanah Papua. Bilamana kita saksikan akhir-akhir ini, terjadinya berbagai kasus di tanah Papua adalah bentuk ketidakpuasan masyarakat Papua, yang hingga kini masih merasa dimarginalkan di “ditanah airnya” sendiri. Otonomi khusus yang digagas pemerintah untuk meredam konflik di Papua ternyata masih gagal dan tidak berjalan semestinya, Otonomi Khusus masih jauh dari harapan dalam penyelesaian konflik vertikal dan horizontal di tanah Cendrawasih.

Menurut hasil penelitian LIPI yang telah di dirilis beberapa waktu lalu dan kemudian dituangkan dalam Papua World Road Map, ditemukan ada empat akar masalah mendasar konflik. Pertama, masyarakat papua merasa termarginalisasi ( baca: terpinggirkan/terbuang) yang diakibatkan oleh terjadi ketidakseimbangan yang dialami masyarakat Papua dalam konteks antara hubungan daerah dengan pusat. Pemerintah pusat seakan memarginalkan masyarakat papua di tanah kelahirannya sendiri, dengan tidak memberikan tempat dan kesempatan yang luas dalam pembangunan padahal secara tidak langsung Masyarakat papua merupakan “penyumbang besar” pendapatan bangsa Indonesia. Kedua, masalah ketimpangan pembangunan di Papua,yang sampai saat ini masih sangat dirasakan masyarakat Papua, sampai-sampai Gubernur Papua Barbanas Suebu pernah mengibaratkan Pembangunan di Papua masih seperti Jawa pada masa sebelum Daendels membangun jalan raya dari ujung timur sampai ujung barat.

Ketiga, adalah persoalan status politik Papua yang hingga saat ini terus dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Papua dan tokoh adat. Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut misalnya, dalam bukunya yang berjudul “Aspek hukum Adanya Aneksasi Kemerdekaan Kedaulatan Rakyat Papua Menggugat” mengatakan bahwa status hukum dan politik bangsa Papua dan Indonesia sebelum bersatu, masing-masing telah menjadi negara sendiri. dia menyebutkan bahwa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sedangkan Papua merdeka pada 1 Desember 1961, dimana momentum Kemerdekaan Papua pada saat itu ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Fajar, berdampingan dengan bendera Kerajaan Belanda. Sehingga, Forkorus menuding Indonesia telah melakukan aneksasi kemerdekaan Papua melalui militeristik dengan pelaksaanaan Trikora pada tanggal 19 Desember 1961 silam.

Keempat adalah faktor pelanggaran HAM di Papua. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah pemerintah pusat seringkali menyelesaikan permasalahan di Papua dengan menggunakan pendekatan represif daripada pendekatan preventif , hal ini kemudian dinilai berbagai pihak sebagai sebuah kesalahan besar. Pendekatan Represif bukan merupakan solusi yang cerdas dalam penyelesaian masalah, karena sebaliknya akan berpotensi menambah masalah. Peristiwa yang terakhir terjadi adalah penyerbuan Polisi dalam Kongres Rakyat III Papua pada tanggal 19 Oktober lalu, dimana ketika itu hasil kongres menyapakati untuk menunjuk Pimpinan Kongres sebagai Presiden dan Perdana Menteri Negara Papua merdeka. Penyerbuan tersebut kemudian berujung pada tewasnya tiga orang peserta kongres. Sekali lagi ini menunjukan kepada kita bahwa penyelesaian konflik yang diambil merupakan salah satu bentuk penyelesaian yang tidak progresif. Rakyat Papua sudah terlalu sering tertindas, terintimidasi, termarginalkan sejak lama, untuk itu pemerintah seharusnya peka dalam penyelesaian konflik, sehingga pelanggaran HAM paling tidak bisa diminimalisir.

Kaji Ulang Otonomi Khusus papua

Sejak Presiden Megawati memberikan Otonomi Khusus bagi Papua melalui UU RI Nomor 21 Tahun 2001, dan pelaksanaanya mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2002. Permasalahan Papua tak kunjung meredup. Menurut Prof. Ryaas Rasyid[1] pemberian Otonomi Khusus bagi Papua pada hakekatnya adalah sebuah upaya mengembalikan harga diri rakyat papua yang selama ini merasa termarginakan ditanah Papua, dan diharapkan akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat papua.

Sehingga mereka dapat merasakan bahwa otonomi khusus yang diberikan merupakan sebuah wujud kepedulian seorang ibu kepada anak kandungnya Namun sejak 10 tahun berlalu cita-cita dan harapan perancang otonomi khusus papua tidak mampu diimplemetasikan dalam pelaksanaan.Cita-cita untuk hidup dalam kesejhteraan hingga saat ini tidak pernah dirasakan oleh Rakyat papua secara rata dan menyeluruh. Otonomi Khusus Papua kemudian dinilai tidak membawa perbaikan nasib bagi orang asli Papua. Upaya Pemerintah di Tahun 2011 misalnya, untuk menaikan pos anggaran Otonomi Khusus sampai 10, 3 Triliyun yang dibagi untuk 2 propinsi di papua, Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat ternyata masih belum mampu membantu meredam konflik penuntutan peningkatan tingkat kesejahteraan, pemerataan pembangunanan dan sebagainya. Otonomi Khusus papua juga masih belum mampu memberikan ruang bagi putra daerah sebagai actor protagonist dalam pembangunan di Papua.

Otonomi Khusus Papua memang identik dengan “kucuran” uang yang banyak. Tetapi kemudian mengakibatkan terjadinya ekspekstasi berlebihan para migrant dari luar Papua untuk berbondong-bondong datang mengadu nasib di Papua. Hal ini kemudian secara tidak langsung mendegradasi eksistensi para penduduk asli Papua. Selain itu, Lemahnya pengawasan terhadap pengalokasian anggaran Otonomi khusus berakibat pada tidak meratanya pembangunan, karena kucuran dana besar dari pusat selama ini ternyata tidak pernah sampai pada sasaran yang diharapkan. Ini terbukti dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua yang tetap berada di urutan menengah ke bawah secara nasional dan data jumlah penduduk miskin di Papua tahun 2007 yang mencapai 40,78 persen. Jumlah angka kemiskinan ini telah menempatkan posisi Papua berada di rangking kedua setelah Papua Barat sebagai provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia. Ironis memang, tanah Papua yang dikenal sebagai negeri kaya sumber daya alam (SDA) dan memiliki status Otonomi Khusus yang identik dengan banyak uang tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan rakyatnya.

Sudah seharusnya Pemerintah, DPR, Pemerintah Daerah, dan seluruh stick holders yang ada, tak terkecuali para kelompok separatis yang ada di Papua diajak untuk duduk bersama (urun rembuk) mengatasi segera segala permasalahan yang ada saat ini, khususnya segera mengkaji ulang dan melakukan evaluasi pelaksanaan otonomi khusus Papua, tentunya dengan catatan jangan ada langkah represif dari pemerintah untuk saat ini, semua harus dikonsolidasikan secara dingin tanpa adanya kekerasan.

Jangan Lupakan Sejarah

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Seruan ini pernah disampaikan bung karno sebagai salah seorang Founding people dalam pidatonya yang berjudul Jasmerah. Kalimat itu mungkin harus dimaknai lebih dalam lagi oleh pemerintah saat ini. Pendekatan penyelesaian konflik papua tentunya harus juga menggunakan pendekatan “Historical Approach” (pendekatan sejarah). Sejarah menyebutkan, sebelum kemerdekaan diperoleh Papua barat dari kerajaan Belanda pada saat itu, Rakyat Papua dan Bangsa Indonesia memiliki sebuah ikatan emosional, karena berasumsi bersama bahwa mereka mempunyai common enemy (musuh bersama) yakni Kolonial Belanda.

Pembebasan Irian Barat adalah sebuah langkah kongkret perjuangan Indonesia dalam memerdekan Papua yang sesungguhnya dari cengkraman Imperialisme Belanda kala itu. Lebih dari itu, jika dilihat secara Hitoris bangsa Indonesia tentunya tidak dapat dipisahkan dengan rakyat Papua, karena merupakan satu kesatuan historis berdasarkan sejarah Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Kesultanan Tidore dan wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Dengan demikian penyelesaian konflik Papua, khususnya mengenai status politik adalah hal yang harus segera diselesaikan, pemerintah harus datang menjemput bola, jangan memberikan celah bagi pihak luar untuk ikut melakukan intervensi dalam penyelesaian masalah ini, karena hal itu tentunya akan menjadi ancaman serius bagi eksistensi dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan yang terakhir bukan tidak mungkin Papua akan bernasib sama dengan apa yang dialami Timor-timur pada tahun 1999 silam, yakni lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mari bersatu selamatkan Papua.. Save our nation!!!




Sabtu, 21 Mei 2011

DUKA BANGSA DIHARI KEBANGKITAN NASIONAL

Oleh : Arif Rahman Maladi

Dalam menyambut Hari kebangkitan Nasional, tahun ini bangsa Indonesia menerima sebuah kado yang sangat istimewa. Kado yang telah menampar wajah dan melukai hati jutaan rakyat di Indonesia di mata dunia ditengah momentum peringatan hari kebangkitan Nasional. Penghentian kongres PSSI adalah bukti kegagalan bangsa ini menanamkan nilai-nilai kebersamaan dalam rangka memprjuangkan cita-cita dan tujuan Nasional.

Kegagalan kongres dibawah Komite Normalisasi bentukan FIFA adalah contoh bahwa Indonesia terlalu pintar dan hebat dalam berdemokrasi. Para peserta kongres yang menyebut dirinya sebagai kelompok 78 bukannya mencari solusi yang terbaik buat bangsa ini tetapi sebaliknya, kelompok 78 seakan-akan mengklaim dirinya adalah “pemegang mandat rakyat” di bidang persepakbolaan.

Dengan memegang hak suara dalam kongres, mereka menganggap bahwa mereka adalah suara rakyat. Dan yang menjadi pertanyaan disini apakah memang benar demikian, mereka ditunjuk untuk mewakili seluruh rakyat Indonesia dalam beraspirasi? tentunya ini menjadi sebuah pertanyaan besar. Jika dijawab secara logika, jelas tidak mungkin rakyat Indonesia, menginginkan nasib persepakbolaan bangsa ini menjadi semakin kian terpuruk dengan kegagalan Kongres yang berpotensi menyebabkan sanksi bagi Indonesia oleh FIFA.

Sejak dimulainya kongres, sangat terasa bahwa memang sudah ada agenda lain yang diskenariokan oleh kelompok yang mengaku sebagai pemegang amanat rakyat ini. Mereka terus melakukan pressure kepada Komite Normalisasi dengan melakukan pembenaran-pembenaran dengan mengatasnamakan keadilan dan anti diskriminasi.

Para peserta kongres seakan tidak sadar bahwa rakyat Indonesia sedang menyaksikan dengan penuh harapan agar Kongres dapat menghasilkan keputusan yang mampu mengangkat kembali harkat dan martabat sepakbola bangsa ini ditengah keterpurukan yang sedang dialami. Kelompok 78 juga seakan lupa bahwa di hari kebangkitan Nasional ini rakyat mengharapkan kongres PSSI dengan agenda pemilihan ketua umum bisa dijadikan momentum kebangkitan nasional menuju perubahan yang lebih baik di bidang sepakbola.

Bangsa Indonesia berduka

Pantaslah jika kalimat duka kita ucapkan pada peringatan hari kebangkitan nasional tahun ini. Ditengah kompleksnya masalah bangsa Indonesia, yang dari kian hari terus bertambah. bangsa Indonesia harus kembali menelan pil pahit dalam memperingati momentum kebangkitan nasionalnya dengan terancam sanksi dari FIFA.

Perlu diingat bersama bahwa lahirnya Komite Normalisasi yang dibentuk oleh FIFA, semata-mata disebabkan oleh keadaan yang “abnormal”. Komite Normalisasi adalah bentuk kepeduliaan FIFA sebagai organisasi Induk sepakbola dunia dalam rangka menyelamatkan persepakbolaan Indonesia yang sedang dilanda krisis yang terus menerus berkepanjangan. Anehnya pada saat itu kelompok 78 lah yang ikut mendesak agar FIFA segera mengambil keputusan dalam rangka menyelamatkan masa depan sepakbola Indonesia.

Namun sangat ironis memang, ketika dalam keputusannya FIFA juga mengambil keputusan untuk mem-black list empat nama (Nurdin Halid, Nirwan bakrie, Arifin Panigoro dan George Toisutta) untuk maju sebagai ketua umum PSSI dengan alasan karena terlibat dalam “penyebab” kekisruhan sepakbola Indonesia ditolak oleh kelompok 78. Mereka seakan inkonsisten dengan sikap awalnya. Kuatnya aroma kepentingan golongan ditunjukan kelompok 78 untuk terus memaksa agar Arifin Panigoro dan G.Toisutta maju sebagai Ketua Umum PSSI. Kelompok 78 seakan sangat yakin bahwa Arifin Panigoro dan George Toisutta mampu memberikan jaminan untuk memperbaiki sepakbola nasional, entah apa yang mendasari keyakinan ini. Kelompok 78 seharusnya memaknai bahwa semangat menyelamatkan sepak bola nasional harus didahulukan demi mewujudkan kepentingan nasional, dan bukannya menghancurkan dengan dalih revolusi sepak bola demi ambisi meloloskan calon yang sudah ditolak FIFA, mereka tentunya sudah membutakan masalah dan membuat rakyat Indonesia terluka.

Inkonsistensi kelompok 78 ini tentunya secara tidak langsung telah meruntuhkan semangat bangsa Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan persepakbolaan yang sedang dihadapi. Rendahnya semangat nasionalisme dalam memaknai hari kebangkitan nasional menyebabkan mata hati “mereka” tertutup untuk memperjuangkan nasib persepakbolaan bangsa Indonesia. Founding Father bangsa Indonesia, Ir Soekarno sebelumnya pernah mengatakan bahwa, “Kita boleh berbeda dalam segala hal,tapi untuk kepentingan bangsa yang lebih besar kita harus bersatu menyingsingkan perbedaan itu”. Pesan itu tentunya jika kita renungkan bersama sangatlah dalam dan bermakna. Bangsa Indonesia tidak mungkin bisa akan maju dan berkembang, jika berpikir kepentingan pribadi dan golongan diatas kepentingan bangsa.

Rakyat Indonesia tentunya bisa menilai bahwasanya kelompok 78 tidak lagi mampu memperjuangkan kepentingan dan tujuan nasional. Kegagalan Kongres PSSI ini berpotensi menimbulkan konflik baru. Dan Jika vonis FIFA jatuh, dampaknya akan menjalar ke mana-mana, termasuk bertambahnya jumlah pengangguran. Ribuan pemain dan perangkat pendukung lainnya yang mencari makan atau hidup dari sepak bola di kompetisi yang digelar PSSI akan kehilangan pekerjaan, sebagai korban ambisi dan pemaksaan kehendak. Dengan demikian sebelum FIFA menjatuhkan sanksi, tidaklah “haram” jika rakyat Indonesia akan mengguggat kelompok 78.


Jumat, 08 April 2011

Antara Pencitraan SBY dan Gedung Baru DPR

Oleh : Arif Rahman Maladi

Disetujuinya rencana pembangunan gedung baru DPR yang telah diputuskan dalam rapat Fraksi DPR merupakan sebuah keputusan yang telah menyinggung perasaan rakyat. Mayoritas fraksi akhirnya menyetujui dilanjutkannya pembangunan gedung DPR kecuali dua fraksi yang tetap menolak secara konsisten, yakni fraksi PAN dan fraksi Gerindra yang tetap pada pendiriannya untuk menolak pembangunan gedung baru DPR. Sebelumnya Ketua DPR Marzuki Ali menyatakan bahwa, jika salah satu fraksi tidak setuju maka pembangunan gedung tidak akan dilanjutkan, tetapi akhirnya untuk kesekian kalinya sejak menjabat sebagai ketua DPR Marzuki Ali meralat ucapannya dengan alasan bahwa keputusan tersebut merupakan hasil Rapim (rapat pimpinan) Fraksi DPR. Kebijakan pembangunan gedung baru DPR ini tentunya bertentangan dengan aspirasi rakyat Indonesia, dan sangat dikhawatirkan oleh para pihak dapat menyulut “amarah” rakyat. Bagaimana tidak, rendahnya kualitas kinerja DPR dengan fasilitas yang dirasa sudah sangat baik saat ini saja, DPR masih belum mampu menjawab permasalahan-permasalahan bangsa. Ditambah lagi dengan merosotnya kepercayaan publik terhadap DPR, DPR masih terkesan tidak mau peduli dengan aspirasi masyarakat.

Bila kita perhatikan, rencana dan program Kerja DPR hingga saat ini masih sangat jauh dari harapan rakyat. Lihat saja studi Banding yang tidak tepat sasaran, Hasil Kerja Pansus Kasus Century yang hingga hari ini bagaikan hilang ditelan bumi hingga pada konstelasi gagalnya hak angket pajak adalah serangkaian kinerja yang tidak memiliki nilai dimata rakyat Indonesia. Sehingga apapun alasan yang digunakan para wakil rakyat di Senanyan untuk membangun Gedung baru tentunya tidak akan mendapat respon positif dari rakyat. Sangat ironis memang, ketika melihat para wakil rakyat kita mampu membangun gedung mewah dengan menghabiskan dana triliunan rupiah berbanding terbalik dengan kondisi rakyat Indonesia yang masih diwarnai banyaknya ketimpangan pembangunan dan tingkat kesejahteraan rakyat yang belum merata di Indonesia.

Terlepas dari itu semua, ada suatu hal yang paling menarik jika diperhatikan disini yakni ketika Presiden SBY berbagi sikap menanggapi pembangunan gedung baru DPR. Dalam pernyataannya, SBY meminta DPR agar menghentikan rencana pembangunan gedung baru, sehingga dana bisa dialihkan untuk kebutuhan lebih mendesak. Tentunya pernyataan SBY ini bertolak belakang dengan sikap Demokrat di DPR. SBY sebagai orang “panutan” di Partai Demokrat secara mengejutkan menyatakan sikapnya agar pembangunan ini dikaji ulang dan bila perlu dihentikan atau ditunda hingga kesejahteraan rakyat meningkat. Ketidaksepahaman ini, tentunya menarik untuk dikaji, karena selama ini sikap SBY selalu berjalan sinergi dengan sikap Demokrat di Parlemen. Lihat saja ketika kita melihat kegerahan SBY, pada saat Partai Koalisi “mengguggat” kasus Pajak melalui hak angket, yang berimbas pada ancaman SBY untuk mengeluarkan partai yang tidak sepaham dengan Demokrat. Namun saat ini, SBY lah yang menentang kebijakan pembangunan gedung baru DPR.

Politik SBY yang seakan-akan “menentang” DPR dengan berbeda pendapat, sebenarnya merupakan suatu jalan untuk mengimbangi nilai tawar demokrat di mata rakyat. Hal ini dilakukan demi tetap menjaga pencitraan Demokrat dan SBY. Rakyat tentunya lebih mengenal demokrat sebagai SBY, daripada Demokrat sebagai partai. Dengan hadirnya penolakan SBY terhadap kebijakan pembangunan gedung DPR diharapkan rakyat awam nantinya akan melihat bahwa kebijakan pembangunan gedung DPR adalah keputusan DPR secara menyeluruh bukan diusung oleh Demokrat.

Kita masih ingat, statemen Ruhut Sitompul di media beberapa lalu yang menanggapi sikap Roy Suryo yang juga menolak pembangunan gedung baru, dengan mengatakan Roy Suryo hanya ingin terkenal. Tentunya ini bisa juga berlaku bagi SBY, kalaupun SBY sudah terkenal maka dapat diartikan sikap SBY yang menolak gagasan pembangunan gedung DPR tidak jauh untuk menjaga “keterkenalan”nya (pencitraannya) di masyarakat . Dan politik pencitraan ini sudah seringkali digunakan SBY dalam rangka menjaga pencitraan Dirinya dan demokrat dihadapan rakyat. Statemen penolakan SBY terhadap rencana pembangunan DPR jelas tidak akan berarti apa-apa, hanya akan menjadi sebuah angin segar yang lewat sejenak untuk rakyat. Karena dari sisi kelembagaan posisi jelas berbeda dengan DPR. Sehingga SBY tidak mungkin bisa memerintahkan DPR untuk membangun atau tidak gedung barunya.

Dengan demikian Rakyat hanya bisa menjadi penonton panggung sandiwara dengan lakon wakil-wakilnya di Senayan. Dan untuk kesekian kalinya begitulah demokrasi di Indonesia, tidak akan pernah utuh, karena demokrasi di Indonesia adalah dari rakyat, oleh rakyat dan bukan untuk rakyat.

Senin, 04 April 2011

PERSELINGKUHAN POLITIK ZAINUL MAJDI

Oleh : Arif Rahman Maladi

Naiknya Gubernur NTB Zainul Majdi yang terpilih secara aklamasi menjadi Ketua DPD Demokrat Propinsi Nusa Tenggara Barat pada Musda Minggu lalu adalah pencederaan dalam demokrasi. Hal ini juga merupakan tamparan keras khususnya bagi para pendukung dan simpatisan yang mengusung Zainul maju sebagai calon Gubernur sebagai seorang kader PBB . Demokrat pada saat itu adalah partai pesaing yang mengusung calon Gubernur sendiri dengan mengajukan Nanang Samodra (mantan sekda NTB) sebagai calon Gubernur NTB. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan banyak pihak mengapa Zainul Majdi bisa banting setir ke Partai Demokrat yang jelas-jelas tidak mendukungnya sejak awal. Kesamaan visi adalah jawaban yang dikatakan Zainul merupakan sebuah jawaban klasik untuk menjawab persoalan ini.

Kekecewaan para kader demokrat yang tidak bisa terbedung diluapkan pada saat Musda harus dinilai sebagai sebuah konsekuensi logis naiknya Majdi. Mereka merasa dilecehkan dan disingkirkan oleh kepentingan politis. Secara kasarnya, Kader Demokrat dinilai tidak ada yang kompeten, sehingga kader demokrat seakan tidak memiliki tempat di partainya. Hal ini dibuktikan dengan pembakaran “almamater” demokrat pada saat Musda. Wajar halnya para kader kecewa, karena selama ini para kader demokrat mungkin merasa bersusah payah membesarkan partai, namun tiba-tiba dipimpin seseorang asing yang mereka tidak kenal.

Sebelumnya, pencalonan Majdi ditolak mentah-mentah oleh pengurus dan kader partai demokrat NTB, karena bertentangan dengan Anggaran Dasar Partai khususnya Anggaran Dasar No.11, sehingga secara mutlak Majdi tidak mungkin bisa maju menjadi ketua DPD Demokrat karena bukan berasal dari kader. Tetapi begitulah politik, segala hal bisa terjadi dalam hitungan detik, tanpa harus melihat aturan prosedural, dan hal seperti ini merupakan pembelajaran politik yang tidak baik dan tidak sehat bagi masyarakat. Partai politik seharusnya menjalankan fungsinya sebagai sarana dalam memberikan pendidikan politik dan berdemokrasi yang baik bagi rakyat bukannya memberikan pembelajaran menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politiknya.

Zainul Majdi mengungkapkan latar belakangnya ia bergabung dengan demokrat dikarenakan kesamaan visi demokrat yakni Nasional-Religius adalah sebuah statemen yang klasik. Tanpa disadari saat ini, Zainul telah kehilangan popularitasnya dikalangan pendukungnya. Inkonsistensi Zainul Majdi dapat mempengaruhi popularitasnya di mata masyarakat NTB khususnya. Orang sekaliber Zainul Majdi, seharusnya tidak melakukan “perselingkuhan” politik. Kalaupun beliau ingin tetap bertahan untuk maju kembali di 2013, beliau seharusnya menunjukan kinerja yang baik. Beliau tidak perlu khawatir, rakyat sudah tidak bodoh lagi memilih pemimpinnya, kalau memang pemimpin yang dinilai kompeten maka pemimpin itulah yang menang. Kemenangan Demokrat pada pemilu 2009, tidak akan terlalu mempengaruhi suara rakyat, lihat saja pemilihan wali kota Mataram, dimana demokrat dipukul telak padahal pada pemilukada Gubernur suara Kader Demokrat keluar sebagai pemenang atau kemenangan calon independen pada pemilukada NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) bisa dijadikan pembelajaran.

Sebagian elit politik mungkin menilai ini adalah stategi Demokrat untuk 2014 untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan menggunakan strategi membajak kepala daerah menjadi ketua partai agar elektabilitas partai bisa tetap terjaga di 2014 apalagi ditengah mulai merosotnya citra demokrat beberapa waktu ini. Aji mumpung lah,…. Yah semoga warga NTB, nantinya bisa belajar dari hal ini. Karena realita di Indonesia saat ini, para pemimpinnya berlomba-lomba menjadi ketua partai, sehingga terkadang kepentingan Partai diatas kepentingan rakyat. Allahuallam….

CAPRES INDEPENDEN, REVOLUSI DEMOKRASI INDONESIA

Oleh: Arif Rahman Maladi

Gagasan DPD untuk mengusung amandemen ke lima (5) UUD 1945, mendapat banyak perhatian masyarakat. Selain ingin mengembalikan fungsinya yang selama ini “dikebiri” di parlemen, DPD juga mengusung gagasan untuk mengusung Capres independen di 2014. Hal ini kemudian yang menuai pro dan kontra khususnya dikalangan elit politik. Elite politik seakan tak rela bilamana gagasan ini kemudian disetujui dan diimplementasikan di Indonesia. Gagasan capres Independen, didasari oleh jaminan hak konstitutional warga Negara yang ada dalam UUD 1945. Konstitusi menegaskan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. artinya disini bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Masih segar dalam ingatan kita, ketika pada tahun 2009 Fadjroel Rahman gagal maju untuk menjadi calon independent setelah gugatannya ke Mahkamah Konstitusi ditolak secara keseluruhan. Pada saat itu pemohon (fadjroel cs) berdalil bahwa tafsiran pasal 6A UUD 1945 perihal pengajuan calon presiden melalui partai bukan merupakan hak ekslusif partai sebagai satu-satunya penyalur calon presiden dan wakil presiden. Hak yang diberikan konstitusinya tentunya harus sejalan dengan hak setiap warga Negara untuk ikut berpartisapasi dalam pemerintah seperti yang diamanatkan dalam pasal 28D. Walaupun gugatan ini ditolak secara menyeluruh perlu diingat putusan tersebut, tidak mendapat dukungan penuh seluruh hakim konstitusi. Tiga Hakim Konstitusi pada putusan tersebut memberikan pendapat berbeda (dissenting opinions) yang intinya menyatakan bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus ditafsirkan membuka ruang bagi terbukanya calon presiden perseorangan di dalam UU Pilpres.

Momentum kebangkitan wacana capres independen disebabkan makin merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik pasca pemilu 2009. Rakyat sudah muak terhadap sikap partai politik di Indonesia yang dari ke-hari tidak komit terhadap perjuangan kepentingan rakyat. Partai politik dianggap telah gagal menjalankan fungsinya sebagai wadah penyerap aspirasi rakyat, saat ini partai politik dinilai hanya memperjuangkan kepentingan partai dan kelompok saja. Hal ini tentu saja sebagai konsekuensi banyaknya tuntutan rakyat yang tidak mampu dijawab oleh wakil rakyat di Senayan.

Indonesia sebagai Negara demokrasi memiliki sifat dasar yakni menempatkan kedaulatan berada ditangan rakyat (the owner of ultimate sovereignty). Pasca reformasi, sistem pemilihan presiden berubah menjadi sistem pemilihan langsung, hal ini dilatar belakangi oleh semangat agar pemimpin yang nantinya lahir memiliki legitimasi yang kuat dihadapan rakyat dan menjadi representasi suara rakyat. Perlu diperhatikan, rumusan pasal 6A UUD 1945, bukanlah sebuah ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan, melainkan hanya sebuah ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme atau prosedur pencalonan yakni melalui partai poltik, dan prosedur seharusnya tidak boleh menafikan sesuatu yang lebih substansial yakni persyaratan yang merupakan hak konstitutional warga Negara yang dijamin oleh konstitusi.

Untuk itu Indonesia sebagai Negara demokrasi, seharusnya memang tidak menutup ruang terhadap gagasan ini. Pandangan elite politik yang menyatakan bahwa kinerja presiden dari calon independen akan tidak efektif tanpa dukungan partai diparlemen adalah sebuah argumen yang tidak mendasar. Politik adalah kompromi, sekarang semua itu akan kembali kepada politik apa yang akan ditawarkan oleh seorang Presiden dari calon independen. Kompromi seperti apa yang akan dibawa untuk mengusung pemerintahannya kedepan, dan tentunya hal ini jelas akan meminimalisir kepentingan politik golongan. Karena selama ini kepentingan partai selalu diatas kepentingan rakyat.

Gagasan calon independen seharusnya dimaknai sebagai sebuah gagasan revolusioner, gagasan yang harus terus diperjuangkan bersama. Partai politik seharusnya sadar, bahwa gagasan ini adalah sebuah kritikan kongkret terhadap kinerja partai politik. Elite politik seharusnya tidak perlu “kebakaran jenggot” ketika gagasan ini kembali bergulir, dan seakan-akan takut akan kehilangan “proyek”- nya. Kalau memang partai politik tetap ingin memiliki nilai dihadapan rakyat maka sudah seharusnya kepentingan-kepentingan partai dikesampingkan dulu dengan mengutamakan kepentingan yang memihak rakyat, dengan melakukan perbaikan kinerja yang produktif. dan untuk hal ini biarlah rakyat yang menjawab, karena suara rakyat bukan suara partai.