“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Selamat Datang di Blog Resmi Arif Rahman Maladi.

Bersama berbagi untuk generasi.

Kamis, 10 November 2011

SELAMATKAN PAPUA

Slice of Papua Conflict

Oleh : Arif Rahman Maladi

Konflik berkepanjangan yang saat ini terus terjadi di Papua merupakan isyarat nyata kepada pemerintah untuk segera melakukan sebuah langkah kongkret demi “menyelamatkan” tanah Papua. Bilamana kita saksikan akhir-akhir ini, terjadinya berbagai kasus di tanah Papua adalah bentuk ketidakpuasan masyarakat Papua, yang hingga kini masih merasa dimarginalkan di “ditanah airnya” sendiri. Otonomi khusus yang digagas pemerintah untuk meredam konflik di Papua ternyata masih gagal dan tidak berjalan semestinya, Otonomi Khusus masih jauh dari harapan dalam penyelesaian konflik vertikal dan horizontal di tanah Cendrawasih.

Menurut hasil penelitian LIPI yang telah di dirilis beberapa waktu lalu dan kemudian dituangkan dalam Papua World Road Map, ditemukan ada empat akar masalah mendasar konflik. Pertama, masyarakat papua merasa termarginalisasi ( baca: terpinggirkan/terbuang) yang diakibatkan oleh terjadi ketidakseimbangan yang dialami masyarakat Papua dalam konteks antara hubungan daerah dengan pusat. Pemerintah pusat seakan memarginalkan masyarakat papua di tanah kelahirannya sendiri, dengan tidak memberikan tempat dan kesempatan yang luas dalam pembangunan padahal secara tidak langsung Masyarakat papua merupakan “penyumbang besar” pendapatan bangsa Indonesia. Kedua, masalah ketimpangan pembangunan di Papua,yang sampai saat ini masih sangat dirasakan masyarakat Papua, sampai-sampai Gubernur Papua Barbanas Suebu pernah mengibaratkan Pembangunan di Papua masih seperti Jawa pada masa sebelum Daendels membangun jalan raya dari ujung timur sampai ujung barat.

Ketiga, adalah persoalan status politik Papua yang hingga saat ini terus dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Papua dan tokoh adat. Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut misalnya, dalam bukunya yang berjudul “Aspek hukum Adanya Aneksasi Kemerdekaan Kedaulatan Rakyat Papua Menggugat” mengatakan bahwa status hukum dan politik bangsa Papua dan Indonesia sebelum bersatu, masing-masing telah menjadi negara sendiri. dia menyebutkan bahwa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sedangkan Papua merdeka pada 1 Desember 1961, dimana momentum Kemerdekaan Papua pada saat itu ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Fajar, berdampingan dengan bendera Kerajaan Belanda. Sehingga, Forkorus menuding Indonesia telah melakukan aneksasi kemerdekaan Papua melalui militeristik dengan pelaksaanaan Trikora pada tanggal 19 Desember 1961 silam.

Keempat adalah faktor pelanggaran HAM di Papua. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah pemerintah pusat seringkali menyelesaikan permasalahan di Papua dengan menggunakan pendekatan represif daripada pendekatan preventif , hal ini kemudian dinilai berbagai pihak sebagai sebuah kesalahan besar. Pendekatan Represif bukan merupakan solusi yang cerdas dalam penyelesaian masalah, karena sebaliknya akan berpotensi menambah masalah. Peristiwa yang terakhir terjadi adalah penyerbuan Polisi dalam Kongres Rakyat III Papua pada tanggal 19 Oktober lalu, dimana ketika itu hasil kongres menyapakati untuk menunjuk Pimpinan Kongres sebagai Presiden dan Perdana Menteri Negara Papua merdeka. Penyerbuan tersebut kemudian berujung pada tewasnya tiga orang peserta kongres. Sekali lagi ini menunjukan kepada kita bahwa penyelesaian konflik yang diambil merupakan salah satu bentuk penyelesaian yang tidak progresif. Rakyat Papua sudah terlalu sering tertindas, terintimidasi, termarginalkan sejak lama, untuk itu pemerintah seharusnya peka dalam penyelesaian konflik, sehingga pelanggaran HAM paling tidak bisa diminimalisir.

Kaji Ulang Otonomi Khusus papua

Sejak Presiden Megawati memberikan Otonomi Khusus bagi Papua melalui UU RI Nomor 21 Tahun 2001, dan pelaksanaanya mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2002. Permasalahan Papua tak kunjung meredup. Menurut Prof. Ryaas Rasyid[1] pemberian Otonomi Khusus bagi Papua pada hakekatnya adalah sebuah upaya mengembalikan harga diri rakyat papua yang selama ini merasa termarginakan ditanah Papua, dan diharapkan akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat papua.

Sehingga mereka dapat merasakan bahwa otonomi khusus yang diberikan merupakan sebuah wujud kepedulian seorang ibu kepada anak kandungnya Namun sejak 10 tahun berlalu cita-cita dan harapan perancang otonomi khusus papua tidak mampu diimplemetasikan dalam pelaksanaan.Cita-cita untuk hidup dalam kesejhteraan hingga saat ini tidak pernah dirasakan oleh Rakyat papua secara rata dan menyeluruh. Otonomi Khusus Papua kemudian dinilai tidak membawa perbaikan nasib bagi orang asli Papua. Upaya Pemerintah di Tahun 2011 misalnya, untuk menaikan pos anggaran Otonomi Khusus sampai 10, 3 Triliyun yang dibagi untuk 2 propinsi di papua, Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat ternyata masih belum mampu membantu meredam konflik penuntutan peningkatan tingkat kesejahteraan, pemerataan pembangunanan dan sebagainya. Otonomi Khusus papua juga masih belum mampu memberikan ruang bagi putra daerah sebagai actor protagonist dalam pembangunan di Papua.

Otonomi Khusus Papua memang identik dengan “kucuran” uang yang banyak. Tetapi kemudian mengakibatkan terjadinya ekspekstasi berlebihan para migrant dari luar Papua untuk berbondong-bondong datang mengadu nasib di Papua. Hal ini kemudian secara tidak langsung mendegradasi eksistensi para penduduk asli Papua. Selain itu, Lemahnya pengawasan terhadap pengalokasian anggaran Otonomi khusus berakibat pada tidak meratanya pembangunan, karena kucuran dana besar dari pusat selama ini ternyata tidak pernah sampai pada sasaran yang diharapkan. Ini terbukti dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua yang tetap berada di urutan menengah ke bawah secara nasional dan data jumlah penduduk miskin di Papua tahun 2007 yang mencapai 40,78 persen. Jumlah angka kemiskinan ini telah menempatkan posisi Papua berada di rangking kedua setelah Papua Barat sebagai provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia. Ironis memang, tanah Papua yang dikenal sebagai negeri kaya sumber daya alam (SDA) dan memiliki status Otonomi Khusus yang identik dengan banyak uang tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan rakyatnya.

Sudah seharusnya Pemerintah, DPR, Pemerintah Daerah, dan seluruh stick holders yang ada, tak terkecuali para kelompok separatis yang ada di Papua diajak untuk duduk bersama (urun rembuk) mengatasi segera segala permasalahan yang ada saat ini, khususnya segera mengkaji ulang dan melakukan evaluasi pelaksanaan otonomi khusus Papua, tentunya dengan catatan jangan ada langkah represif dari pemerintah untuk saat ini, semua harus dikonsolidasikan secara dingin tanpa adanya kekerasan.

Jangan Lupakan Sejarah

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Seruan ini pernah disampaikan bung karno sebagai salah seorang Founding people dalam pidatonya yang berjudul Jasmerah. Kalimat itu mungkin harus dimaknai lebih dalam lagi oleh pemerintah saat ini. Pendekatan penyelesaian konflik papua tentunya harus juga menggunakan pendekatan “Historical Approach” (pendekatan sejarah). Sejarah menyebutkan, sebelum kemerdekaan diperoleh Papua barat dari kerajaan Belanda pada saat itu, Rakyat Papua dan Bangsa Indonesia memiliki sebuah ikatan emosional, karena berasumsi bersama bahwa mereka mempunyai common enemy (musuh bersama) yakni Kolonial Belanda.

Pembebasan Irian Barat adalah sebuah langkah kongkret perjuangan Indonesia dalam memerdekan Papua yang sesungguhnya dari cengkraman Imperialisme Belanda kala itu. Lebih dari itu, jika dilihat secara Hitoris bangsa Indonesia tentunya tidak dapat dipisahkan dengan rakyat Papua, karena merupakan satu kesatuan historis berdasarkan sejarah Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Kesultanan Tidore dan wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Dengan demikian penyelesaian konflik Papua, khususnya mengenai status politik adalah hal yang harus segera diselesaikan, pemerintah harus datang menjemput bola, jangan memberikan celah bagi pihak luar untuk ikut melakukan intervensi dalam penyelesaian masalah ini, karena hal itu tentunya akan menjadi ancaman serius bagi eksistensi dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan yang terakhir bukan tidak mungkin Papua akan bernasib sama dengan apa yang dialami Timor-timur pada tahun 1999 silam, yakni lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mari bersatu selamatkan Papua.. Save our nation!!!