“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Selamat Datang di Blog Resmi Arif Rahman Maladi.

Bersama berbagi untuk generasi.

Jumat, 08 April 2011

Antara Pencitraan SBY dan Gedung Baru DPR

Oleh : Arif Rahman Maladi

Disetujuinya rencana pembangunan gedung baru DPR yang telah diputuskan dalam rapat Fraksi DPR merupakan sebuah keputusan yang telah menyinggung perasaan rakyat. Mayoritas fraksi akhirnya menyetujui dilanjutkannya pembangunan gedung DPR kecuali dua fraksi yang tetap menolak secara konsisten, yakni fraksi PAN dan fraksi Gerindra yang tetap pada pendiriannya untuk menolak pembangunan gedung baru DPR. Sebelumnya Ketua DPR Marzuki Ali menyatakan bahwa, jika salah satu fraksi tidak setuju maka pembangunan gedung tidak akan dilanjutkan, tetapi akhirnya untuk kesekian kalinya sejak menjabat sebagai ketua DPR Marzuki Ali meralat ucapannya dengan alasan bahwa keputusan tersebut merupakan hasil Rapim (rapat pimpinan) Fraksi DPR. Kebijakan pembangunan gedung baru DPR ini tentunya bertentangan dengan aspirasi rakyat Indonesia, dan sangat dikhawatirkan oleh para pihak dapat menyulut “amarah” rakyat. Bagaimana tidak, rendahnya kualitas kinerja DPR dengan fasilitas yang dirasa sudah sangat baik saat ini saja, DPR masih belum mampu menjawab permasalahan-permasalahan bangsa. Ditambah lagi dengan merosotnya kepercayaan publik terhadap DPR, DPR masih terkesan tidak mau peduli dengan aspirasi masyarakat.

Bila kita perhatikan, rencana dan program Kerja DPR hingga saat ini masih sangat jauh dari harapan rakyat. Lihat saja studi Banding yang tidak tepat sasaran, Hasil Kerja Pansus Kasus Century yang hingga hari ini bagaikan hilang ditelan bumi hingga pada konstelasi gagalnya hak angket pajak adalah serangkaian kinerja yang tidak memiliki nilai dimata rakyat Indonesia. Sehingga apapun alasan yang digunakan para wakil rakyat di Senanyan untuk membangun Gedung baru tentunya tidak akan mendapat respon positif dari rakyat. Sangat ironis memang, ketika melihat para wakil rakyat kita mampu membangun gedung mewah dengan menghabiskan dana triliunan rupiah berbanding terbalik dengan kondisi rakyat Indonesia yang masih diwarnai banyaknya ketimpangan pembangunan dan tingkat kesejahteraan rakyat yang belum merata di Indonesia.

Terlepas dari itu semua, ada suatu hal yang paling menarik jika diperhatikan disini yakni ketika Presiden SBY berbagi sikap menanggapi pembangunan gedung baru DPR. Dalam pernyataannya, SBY meminta DPR agar menghentikan rencana pembangunan gedung baru, sehingga dana bisa dialihkan untuk kebutuhan lebih mendesak. Tentunya pernyataan SBY ini bertolak belakang dengan sikap Demokrat di DPR. SBY sebagai orang “panutan” di Partai Demokrat secara mengejutkan menyatakan sikapnya agar pembangunan ini dikaji ulang dan bila perlu dihentikan atau ditunda hingga kesejahteraan rakyat meningkat. Ketidaksepahaman ini, tentunya menarik untuk dikaji, karena selama ini sikap SBY selalu berjalan sinergi dengan sikap Demokrat di Parlemen. Lihat saja ketika kita melihat kegerahan SBY, pada saat Partai Koalisi “mengguggat” kasus Pajak melalui hak angket, yang berimbas pada ancaman SBY untuk mengeluarkan partai yang tidak sepaham dengan Demokrat. Namun saat ini, SBY lah yang menentang kebijakan pembangunan gedung baru DPR.

Politik SBY yang seakan-akan “menentang” DPR dengan berbeda pendapat, sebenarnya merupakan suatu jalan untuk mengimbangi nilai tawar demokrat di mata rakyat. Hal ini dilakukan demi tetap menjaga pencitraan Demokrat dan SBY. Rakyat tentunya lebih mengenal demokrat sebagai SBY, daripada Demokrat sebagai partai. Dengan hadirnya penolakan SBY terhadap kebijakan pembangunan gedung DPR diharapkan rakyat awam nantinya akan melihat bahwa kebijakan pembangunan gedung DPR adalah keputusan DPR secara menyeluruh bukan diusung oleh Demokrat.

Kita masih ingat, statemen Ruhut Sitompul di media beberapa lalu yang menanggapi sikap Roy Suryo yang juga menolak pembangunan gedung baru, dengan mengatakan Roy Suryo hanya ingin terkenal. Tentunya ini bisa juga berlaku bagi SBY, kalaupun SBY sudah terkenal maka dapat diartikan sikap SBY yang menolak gagasan pembangunan gedung DPR tidak jauh untuk menjaga “keterkenalan”nya (pencitraannya) di masyarakat . Dan politik pencitraan ini sudah seringkali digunakan SBY dalam rangka menjaga pencitraan Dirinya dan demokrat dihadapan rakyat. Statemen penolakan SBY terhadap rencana pembangunan DPR jelas tidak akan berarti apa-apa, hanya akan menjadi sebuah angin segar yang lewat sejenak untuk rakyat. Karena dari sisi kelembagaan posisi jelas berbeda dengan DPR. Sehingga SBY tidak mungkin bisa memerintahkan DPR untuk membangun atau tidak gedung barunya.

Dengan demikian Rakyat hanya bisa menjadi penonton panggung sandiwara dengan lakon wakil-wakilnya di Senayan. Dan untuk kesekian kalinya begitulah demokrasi di Indonesia, tidak akan pernah utuh, karena demokrasi di Indonesia adalah dari rakyat, oleh rakyat dan bukan untuk rakyat.

Senin, 04 April 2011

PERSELINGKUHAN POLITIK ZAINUL MAJDI

Oleh : Arif Rahman Maladi

Naiknya Gubernur NTB Zainul Majdi yang terpilih secara aklamasi menjadi Ketua DPD Demokrat Propinsi Nusa Tenggara Barat pada Musda Minggu lalu adalah pencederaan dalam demokrasi. Hal ini juga merupakan tamparan keras khususnya bagi para pendukung dan simpatisan yang mengusung Zainul maju sebagai calon Gubernur sebagai seorang kader PBB . Demokrat pada saat itu adalah partai pesaing yang mengusung calon Gubernur sendiri dengan mengajukan Nanang Samodra (mantan sekda NTB) sebagai calon Gubernur NTB. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan banyak pihak mengapa Zainul Majdi bisa banting setir ke Partai Demokrat yang jelas-jelas tidak mendukungnya sejak awal. Kesamaan visi adalah jawaban yang dikatakan Zainul merupakan sebuah jawaban klasik untuk menjawab persoalan ini.

Kekecewaan para kader demokrat yang tidak bisa terbedung diluapkan pada saat Musda harus dinilai sebagai sebuah konsekuensi logis naiknya Majdi. Mereka merasa dilecehkan dan disingkirkan oleh kepentingan politis. Secara kasarnya, Kader Demokrat dinilai tidak ada yang kompeten, sehingga kader demokrat seakan tidak memiliki tempat di partainya. Hal ini dibuktikan dengan pembakaran “almamater” demokrat pada saat Musda. Wajar halnya para kader kecewa, karena selama ini para kader demokrat mungkin merasa bersusah payah membesarkan partai, namun tiba-tiba dipimpin seseorang asing yang mereka tidak kenal.

Sebelumnya, pencalonan Majdi ditolak mentah-mentah oleh pengurus dan kader partai demokrat NTB, karena bertentangan dengan Anggaran Dasar Partai khususnya Anggaran Dasar No.11, sehingga secara mutlak Majdi tidak mungkin bisa maju menjadi ketua DPD Demokrat karena bukan berasal dari kader. Tetapi begitulah politik, segala hal bisa terjadi dalam hitungan detik, tanpa harus melihat aturan prosedural, dan hal seperti ini merupakan pembelajaran politik yang tidak baik dan tidak sehat bagi masyarakat. Partai politik seharusnya menjalankan fungsinya sebagai sarana dalam memberikan pendidikan politik dan berdemokrasi yang baik bagi rakyat bukannya memberikan pembelajaran menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politiknya.

Zainul Majdi mengungkapkan latar belakangnya ia bergabung dengan demokrat dikarenakan kesamaan visi demokrat yakni Nasional-Religius adalah sebuah statemen yang klasik. Tanpa disadari saat ini, Zainul telah kehilangan popularitasnya dikalangan pendukungnya. Inkonsistensi Zainul Majdi dapat mempengaruhi popularitasnya di mata masyarakat NTB khususnya. Orang sekaliber Zainul Majdi, seharusnya tidak melakukan “perselingkuhan” politik. Kalaupun beliau ingin tetap bertahan untuk maju kembali di 2013, beliau seharusnya menunjukan kinerja yang baik. Beliau tidak perlu khawatir, rakyat sudah tidak bodoh lagi memilih pemimpinnya, kalau memang pemimpin yang dinilai kompeten maka pemimpin itulah yang menang. Kemenangan Demokrat pada pemilu 2009, tidak akan terlalu mempengaruhi suara rakyat, lihat saja pemilihan wali kota Mataram, dimana demokrat dipukul telak padahal pada pemilukada Gubernur suara Kader Demokrat keluar sebagai pemenang atau kemenangan calon independen pada pemilukada NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) bisa dijadikan pembelajaran.

Sebagian elit politik mungkin menilai ini adalah stategi Demokrat untuk 2014 untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan menggunakan strategi membajak kepala daerah menjadi ketua partai agar elektabilitas partai bisa tetap terjaga di 2014 apalagi ditengah mulai merosotnya citra demokrat beberapa waktu ini. Aji mumpung lah,…. Yah semoga warga NTB, nantinya bisa belajar dari hal ini. Karena realita di Indonesia saat ini, para pemimpinnya berlomba-lomba menjadi ketua partai, sehingga terkadang kepentingan Partai diatas kepentingan rakyat. Allahuallam….

CAPRES INDEPENDEN, REVOLUSI DEMOKRASI INDONESIA

Oleh: Arif Rahman Maladi

Gagasan DPD untuk mengusung amandemen ke lima (5) UUD 1945, mendapat banyak perhatian masyarakat. Selain ingin mengembalikan fungsinya yang selama ini “dikebiri” di parlemen, DPD juga mengusung gagasan untuk mengusung Capres independen di 2014. Hal ini kemudian yang menuai pro dan kontra khususnya dikalangan elit politik. Elite politik seakan tak rela bilamana gagasan ini kemudian disetujui dan diimplementasikan di Indonesia. Gagasan capres Independen, didasari oleh jaminan hak konstitutional warga Negara yang ada dalam UUD 1945. Konstitusi menegaskan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. artinya disini bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Masih segar dalam ingatan kita, ketika pada tahun 2009 Fadjroel Rahman gagal maju untuk menjadi calon independent setelah gugatannya ke Mahkamah Konstitusi ditolak secara keseluruhan. Pada saat itu pemohon (fadjroel cs) berdalil bahwa tafsiran pasal 6A UUD 1945 perihal pengajuan calon presiden melalui partai bukan merupakan hak ekslusif partai sebagai satu-satunya penyalur calon presiden dan wakil presiden. Hak yang diberikan konstitusinya tentunya harus sejalan dengan hak setiap warga Negara untuk ikut berpartisapasi dalam pemerintah seperti yang diamanatkan dalam pasal 28D. Walaupun gugatan ini ditolak secara menyeluruh perlu diingat putusan tersebut, tidak mendapat dukungan penuh seluruh hakim konstitusi. Tiga Hakim Konstitusi pada putusan tersebut memberikan pendapat berbeda (dissenting opinions) yang intinya menyatakan bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus ditafsirkan membuka ruang bagi terbukanya calon presiden perseorangan di dalam UU Pilpres.

Momentum kebangkitan wacana capres independen disebabkan makin merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik pasca pemilu 2009. Rakyat sudah muak terhadap sikap partai politik di Indonesia yang dari ke-hari tidak komit terhadap perjuangan kepentingan rakyat. Partai politik dianggap telah gagal menjalankan fungsinya sebagai wadah penyerap aspirasi rakyat, saat ini partai politik dinilai hanya memperjuangkan kepentingan partai dan kelompok saja. Hal ini tentu saja sebagai konsekuensi banyaknya tuntutan rakyat yang tidak mampu dijawab oleh wakil rakyat di Senayan.

Indonesia sebagai Negara demokrasi memiliki sifat dasar yakni menempatkan kedaulatan berada ditangan rakyat (the owner of ultimate sovereignty). Pasca reformasi, sistem pemilihan presiden berubah menjadi sistem pemilihan langsung, hal ini dilatar belakangi oleh semangat agar pemimpin yang nantinya lahir memiliki legitimasi yang kuat dihadapan rakyat dan menjadi representasi suara rakyat. Perlu diperhatikan, rumusan pasal 6A UUD 1945, bukanlah sebuah ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan, melainkan hanya sebuah ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme atau prosedur pencalonan yakni melalui partai poltik, dan prosedur seharusnya tidak boleh menafikan sesuatu yang lebih substansial yakni persyaratan yang merupakan hak konstitutional warga Negara yang dijamin oleh konstitusi.

Untuk itu Indonesia sebagai Negara demokrasi, seharusnya memang tidak menutup ruang terhadap gagasan ini. Pandangan elite politik yang menyatakan bahwa kinerja presiden dari calon independen akan tidak efektif tanpa dukungan partai diparlemen adalah sebuah argumen yang tidak mendasar. Politik adalah kompromi, sekarang semua itu akan kembali kepada politik apa yang akan ditawarkan oleh seorang Presiden dari calon independen. Kompromi seperti apa yang akan dibawa untuk mengusung pemerintahannya kedepan, dan tentunya hal ini jelas akan meminimalisir kepentingan politik golongan. Karena selama ini kepentingan partai selalu diatas kepentingan rakyat.

Gagasan calon independen seharusnya dimaknai sebagai sebuah gagasan revolusioner, gagasan yang harus terus diperjuangkan bersama. Partai politik seharusnya sadar, bahwa gagasan ini adalah sebuah kritikan kongkret terhadap kinerja partai politik. Elite politik seharusnya tidak perlu “kebakaran jenggot” ketika gagasan ini kembali bergulir, dan seakan-akan takut akan kehilangan “proyek”- nya. Kalau memang partai politik tetap ingin memiliki nilai dihadapan rakyat maka sudah seharusnya kepentingan-kepentingan partai dikesampingkan dulu dengan mengutamakan kepentingan yang memihak rakyat, dengan melakukan perbaikan kinerja yang produktif. dan untuk hal ini biarlah rakyat yang menjawab, karena suara rakyat bukan suara partai.