“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Selamat Datang di Blog Resmi Arif Rahman Maladi.

Bersama berbagi untuk generasi.

Sabtu, 21 Mei 2011

DUKA BANGSA DIHARI KEBANGKITAN NASIONAL

Oleh : Arif Rahman Maladi

Dalam menyambut Hari kebangkitan Nasional, tahun ini bangsa Indonesia menerima sebuah kado yang sangat istimewa. Kado yang telah menampar wajah dan melukai hati jutaan rakyat di Indonesia di mata dunia ditengah momentum peringatan hari kebangkitan Nasional. Penghentian kongres PSSI adalah bukti kegagalan bangsa ini menanamkan nilai-nilai kebersamaan dalam rangka memprjuangkan cita-cita dan tujuan Nasional.

Kegagalan kongres dibawah Komite Normalisasi bentukan FIFA adalah contoh bahwa Indonesia terlalu pintar dan hebat dalam berdemokrasi. Para peserta kongres yang menyebut dirinya sebagai kelompok 78 bukannya mencari solusi yang terbaik buat bangsa ini tetapi sebaliknya, kelompok 78 seakan-akan mengklaim dirinya adalah “pemegang mandat rakyat” di bidang persepakbolaan.

Dengan memegang hak suara dalam kongres, mereka menganggap bahwa mereka adalah suara rakyat. Dan yang menjadi pertanyaan disini apakah memang benar demikian, mereka ditunjuk untuk mewakili seluruh rakyat Indonesia dalam beraspirasi? tentunya ini menjadi sebuah pertanyaan besar. Jika dijawab secara logika, jelas tidak mungkin rakyat Indonesia, menginginkan nasib persepakbolaan bangsa ini menjadi semakin kian terpuruk dengan kegagalan Kongres yang berpotensi menyebabkan sanksi bagi Indonesia oleh FIFA.

Sejak dimulainya kongres, sangat terasa bahwa memang sudah ada agenda lain yang diskenariokan oleh kelompok yang mengaku sebagai pemegang amanat rakyat ini. Mereka terus melakukan pressure kepada Komite Normalisasi dengan melakukan pembenaran-pembenaran dengan mengatasnamakan keadilan dan anti diskriminasi.

Para peserta kongres seakan tidak sadar bahwa rakyat Indonesia sedang menyaksikan dengan penuh harapan agar Kongres dapat menghasilkan keputusan yang mampu mengangkat kembali harkat dan martabat sepakbola bangsa ini ditengah keterpurukan yang sedang dialami. Kelompok 78 juga seakan lupa bahwa di hari kebangkitan Nasional ini rakyat mengharapkan kongres PSSI dengan agenda pemilihan ketua umum bisa dijadikan momentum kebangkitan nasional menuju perubahan yang lebih baik di bidang sepakbola.

Bangsa Indonesia berduka

Pantaslah jika kalimat duka kita ucapkan pada peringatan hari kebangkitan nasional tahun ini. Ditengah kompleksnya masalah bangsa Indonesia, yang dari kian hari terus bertambah. bangsa Indonesia harus kembali menelan pil pahit dalam memperingati momentum kebangkitan nasionalnya dengan terancam sanksi dari FIFA.

Perlu diingat bersama bahwa lahirnya Komite Normalisasi yang dibentuk oleh FIFA, semata-mata disebabkan oleh keadaan yang “abnormal”. Komite Normalisasi adalah bentuk kepeduliaan FIFA sebagai organisasi Induk sepakbola dunia dalam rangka menyelamatkan persepakbolaan Indonesia yang sedang dilanda krisis yang terus menerus berkepanjangan. Anehnya pada saat itu kelompok 78 lah yang ikut mendesak agar FIFA segera mengambil keputusan dalam rangka menyelamatkan masa depan sepakbola Indonesia.

Namun sangat ironis memang, ketika dalam keputusannya FIFA juga mengambil keputusan untuk mem-black list empat nama (Nurdin Halid, Nirwan bakrie, Arifin Panigoro dan George Toisutta) untuk maju sebagai ketua umum PSSI dengan alasan karena terlibat dalam “penyebab” kekisruhan sepakbola Indonesia ditolak oleh kelompok 78. Mereka seakan inkonsisten dengan sikap awalnya. Kuatnya aroma kepentingan golongan ditunjukan kelompok 78 untuk terus memaksa agar Arifin Panigoro dan G.Toisutta maju sebagai Ketua Umum PSSI. Kelompok 78 seakan sangat yakin bahwa Arifin Panigoro dan George Toisutta mampu memberikan jaminan untuk memperbaiki sepakbola nasional, entah apa yang mendasari keyakinan ini. Kelompok 78 seharusnya memaknai bahwa semangat menyelamatkan sepak bola nasional harus didahulukan demi mewujudkan kepentingan nasional, dan bukannya menghancurkan dengan dalih revolusi sepak bola demi ambisi meloloskan calon yang sudah ditolak FIFA, mereka tentunya sudah membutakan masalah dan membuat rakyat Indonesia terluka.

Inkonsistensi kelompok 78 ini tentunya secara tidak langsung telah meruntuhkan semangat bangsa Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan persepakbolaan yang sedang dihadapi. Rendahnya semangat nasionalisme dalam memaknai hari kebangkitan nasional menyebabkan mata hati “mereka” tertutup untuk memperjuangkan nasib persepakbolaan bangsa Indonesia. Founding Father bangsa Indonesia, Ir Soekarno sebelumnya pernah mengatakan bahwa, “Kita boleh berbeda dalam segala hal,tapi untuk kepentingan bangsa yang lebih besar kita harus bersatu menyingsingkan perbedaan itu”. Pesan itu tentunya jika kita renungkan bersama sangatlah dalam dan bermakna. Bangsa Indonesia tidak mungkin bisa akan maju dan berkembang, jika berpikir kepentingan pribadi dan golongan diatas kepentingan bangsa.

Rakyat Indonesia tentunya bisa menilai bahwasanya kelompok 78 tidak lagi mampu memperjuangkan kepentingan dan tujuan nasional. Kegagalan Kongres PSSI ini berpotensi menimbulkan konflik baru. Dan Jika vonis FIFA jatuh, dampaknya akan menjalar ke mana-mana, termasuk bertambahnya jumlah pengangguran. Ribuan pemain dan perangkat pendukung lainnya yang mencari makan atau hidup dari sepak bola di kompetisi yang digelar PSSI akan kehilangan pekerjaan, sebagai korban ambisi dan pemaksaan kehendak. Dengan demikian sebelum FIFA menjatuhkan sanksi, tidaklah “haram” jika rakyat Indonesia akan mengguggat kelompok 78.