Tanah
Pecatu/adat di setiap daerah memiliki latar belakang historis berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya.
Namun konsepsi secara umum tanah adat memiliki kesamaan jika dicermati dari
aspek fungsi dan kedudukan tanah adat serta aturan yang mengatur hubungan antara
tanah dengan masyarakat adat yakni masih didasarkan pada ketentuan hukum
adat. Konsep tanah pecatu di Lombok mempunyai
kesamaan dengan konsep tanah bengkok
yang dikenal dalam sistem agraris dipulau Jawa, Tanah hak Binua di Kalimantan ataupun tanah hak Nagari (sako) di Minangkabau,yang dipandang sebagai pemberian
bagian dalam hal ini tanah kepada pejabat di desa sebagai bagian dari
pemerintahan atau pemberian oleh Raja kepada punggawa-punggawa istana yang ia
senangi dan percayai, untuk bagian dari yang disebut pertama lebih difungsikan
bagi jaminan hidup keluarga kepala desa dan pamong-pamong desa. Tanah pecatu
yang dikenal dalam rumpun adat suku sasak dipulau Lombok dikonsepsikan sebagai
tanah yang diberikan kepada pejabat tertentu oleh masyarakat adat untuk
menyelenggarakan pemerintahan di wilayahnya berdasarkan prinsip bahwa tanah
tersebut diberikan selama yang bersangkutan memangku jabatan dan dapat dianggap
suatu pembayaran kepada kepala desa oleh persekutuan untuk memelihara
keluarganya. Tanah-tanah ini adalah tanah hak milik adat di mana mereka
mempunyai hak atas pendapatan dan penghasilan dari tanah itu.
Dalam
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) memang secara eksplisit tidak menyebut
tentang tanah pecatu. Namun tanah yang serupa dengan tanah pecatu dapat
dikategorikan sebagai tanah ulayat karena terhadap tanah pecatu masih diatur
dengan ketentuan hukum adat setempat, dan melekat hak komunal dan secaram umum
dalam pasal 3UUPA disebut sebagai hak ulayat. Dengan demikian secara umum Tanah
Pecatu merupakan tanah yang dimiliki
oleh desa yang bersumber dari adat-istiadat sendiri guna diberikan kepada
kepala desa dan perangkat desa yang bersangkutan. Dalam peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 Tentang Desa yang termuat dalam Pasal 1 ayat (5), yang dimaksud Desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kasus Tukar Guling Tanah Pecatu Desa Apitaik Tahun 2007
Berdasarkan
uraian sebelumnya tanah pecatu desa karena kepemilikan tanah pecatu bersumber
dari adat, tanah Pecatu sebagai Tanah adat tidak boleh diperjual-belikan, namun
boleh dialihkan kepada pihak lain atau pihak ketiga dengan cara pelepasan tanah
kas desa dengan cara pelepasan hak melalui pemberian ganti rugi dan dengan cara
tukar menukar (tukar guling) tanah tersebut dengan tanah lain. Pelepasan hak
apabila status tanah yang dimohonkan adalah tanah hak dan adanya kesediaan
pemegang hak untuk melepaskan tanahnya. Tentunya mekanisme pelepasan tanah pecatu yang
bersumber dari tanah adat harus didasarkan kepada mekanisme yang diakui oleh stakeholder pimpinan dan perwakilan
masyarakat desa (adat) setempat. biasanya dilakukan melalui musyawarah mufakat
yang difasilitasi kepala desa, tokoh masyarakat dan badan perwakilan desa,
sebelum disetujui untuk dilakukan tukar guling tanah. Tukar menukar (tukar
guling) tentunya harus tetap berlandaskan kepada aturan hukum yang ada, yakni
kesepakatan kedua belah pihak.
Namun
yang perlu diperhatikan adalah mekanisme tukar menukar atau tukar guling (ruislag) tanah pecatu yang berasal dari
hak adat/ aset desa berbeda dengan mekanisme tukar menukar tanah pecatu yang
berkedudukan sebagai aset daerah. Dalam pengaturannya, tanah pecatu yang
berkedudukannya sebagai aset daerah merupakan kekayaan milik negara yang proses
pengalihannya diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 2 Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 350/KMK.03/1994 Tentang Tata Cara
Tukar Menukar Barang Milik/ Kekayaan Negara.
Ketentuan
pengelolaan barang/kekayaan milik negara/daerah lebih lanjut kemudian diatur
secara baku dalam Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.17 Tahun 2007
tentang Pedoman tekhnis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Pengaturan secara
ketat mengenai mekanisme tukar guling tanah kekayaan negara/aset negara dan
daerah harus dimaknai dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang
oleh pimpinan daerah yang berpotensi merugikan negara dan rakyat.
Dalam
kasus di Desa Apitaik permasalahan tukar guling tanah pecatu bermula dari surat
Kepala Desa Apitaik tertanggal 4 Agustus 2007 No.593/79/PEM/2007 ditujukan
kepada Camat Pringgabaya. Yang kemudian diteruskan oleh Camat Pringgabaya kepada
Pemerintah Kabupaten Lombok Timur yang ditujukan kepada Kabag Pemdes Setda
Kabupaten Lombok Timur. Berikutnya pihak Setda menurunkan tim Pemeriksaan. Sejalan
dengan kesaksian sekda Lotim pada saat itu di Pengadilan, setelah mendengar
keterangan dari Asisten 1 M. Amin sebagai ketua Tim 9 (Tim telaah) bahwa memang
tidak ada masalah terhadap proses tukar guling selama itu disepakati oleh
seluruh elemen Pemerintahan Desa sebagai perwujudan kehendak masyarakat
desa.
Pada
dasarnya, dalam kasus ini jelas telah
terjadi kekeliruan dalam pemaknaan kata Pecatu desa yang dianggap sebagai Aset
Daerah. Tanah Pecatu Desa yang bersumber dari aset desa, secara otomotis proses
tukar guling tanah bukan menjadi domein
Pemerintah daerah sehingga pada prinsipnya tidak diperlukan izin dari
pemerintah daerah sepanjang ditujukan demi kepentingan masyarakat desa. Kewenangan
itu murni menjadi otonomi desa, yang mekanisme harus disetujuui oleh Kepala
Desa dan BPD sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Desa dengan mendapat
masukan dari tokoh masyarakat (adat) dan masyarakat (adat) setempat.
Bupati Lombok Timur yang kedudukannya sebagai kepala
daerah memang benar mengeluarkan SK untuk dibentuknya tim peneliti tukar guling
sebagai tanggapan atas surat permohonan kepala desa yang meminta pertimbangan
kepala daerahnya. SK
dibentuknya tim peneliti oleh Bupati, semata-mata ditujukan agar proses Tukar
Guling tidak merugikan masyarakat desa, karena kedudukan tanah pecatu bersumber
dari hak adat (masyarakat), sehingga jangan sampai dengan adanya tukar guling,
masyarakat dirugikan. Selanjutnya, SK pembentukan tim peneliti pada tujuannya
ditujukan untuk memberikan masukan atau
saran terhadap tukar guling yang akan dilakukan.
Ini didukung dalam fakta yang terungkap dalam
persidangan, dimana Bupati tidak pernah mengeluarkan SK untuk tukar guling,
karena pemerintah daerah Lombok Timur mengetahui secara pasti kedudukan Tanah
kadus Gubuk Montong desa Apitaik merupakan tanah pecatu yang bersumber dari
aset desa bukan aset daerah. SK Bupati Lotim yang membentuk Tim 9 yang diketuai
oleh Asisten I saat itu berdasar hasil telaahnya dijelaskan bahwa penilaian
terhadap tukar guling digambarkan tidak merugikan desa dan menguntungkan karena
tanahnya lebih luas dibanding tanah pecatu milik Kadus Gubuk Montong yang
semula hanya memiliki luas 5062 m2 ditukar dengan tanah yang
memiliki luas 8188 m2. Dari
sisi Produktifitas Tanah, berdasarkan hasil telaah juga terungkap bahwa, Tanah
Pecatu Desa Kadus gubuk Montong dengan bertambah luasnya tanah dapat memberikan
manfaat yang besar kepada masyarakat, yang pada awalnya tanah Pecatu hanya
mengahasilkan Rp 2,5 juta/per tahun sebelum penukaran, dan setelah penukaran penghasilannya
dapat bertambah menjadi Rp. 7,5 juta per tahun.
Bupati Lombok timur dan jajarannya dalam hal ini telah berupaya maksimal
untuk bertindak secara progresif dan responsif dalam rangka sebatas membantu
desa memberikan penilaian/ pertimbangan kelayakan tukar guling yang akan
dilakukan, dengan tujuan agar jangan sampai tukar guling ini yang secara aturan
memang merupakan kewenangan desa kemudian hari ternyata merugikan masyarakat.
Tukar guling aset desa tidak harus melalaui persetujuan DPRD, karena bersumber
dari hak adat (ulayat) yang dilindungi oleh negara dan diatur dalam konstitusi
negara pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 jo. pasal 5 UUPA yang berkaitan dengan
eksistensi tanah hak milik adat termasuk pecatu desa. Hal ini juga
dikuatkan dengan Peraturan pemerintah No.72 tahun 2005 Tentang Desa pasal 68
ayat (3) yang menyebutkan bahwa kekayaan desa tidak dibenarkan diambil alih
oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan alasan apapun. Bahkan menurut
pasal 201 ayat (2) UU 32 Tahun 2004 Tentang pemerintah daerah, secara jelas
disebutkan walaupun status desa berubah menjadi kelurahan, kekayaanya desa yang
beralih statusnya menjadi kelurahan tetap dikelola oleh pemerintah
desa/kelurahan yang bersangkutan.
Terakhir, hingga saat ini tidak ada bukti kuat
yang menyatakan bahwa Tanah Pecatu Desa Apitaik sebagai Aset Daerah. Pada dasarnya Penetapan suatu tanah menjadi Tanah milik daerah/ inventaris daerah/ aset
daerah, tentunya harus bersandar dari peraturan yang ada yakni mengacu pada
peraturan perundang-undangan terkait. Penetapan aset daerah seharusnya mengacu
pada PP No.6 tahun 2006 dan pelaksanaan tekhnisnya mengacu kepada Permendagri
No.17 Tahun 2007 tentang Penetapan Aset daerah. Pada kenyataan berdasarkan
fakta-fakta yang ada, status tanah pecatu hanya didasarkan pada buku inventaris
“tak bertuan” yang tidak ada legitimasi pejabat daerah baik Kepala Daerah, DPRD
maupun pejabat bewenang lainnya pada saat terjadinya tukar Guling oleh Pimpinan
Pemerintah Desa. Oleh karena itu wajar jika Jaksa, tidak bisa melanjutkan kasus
ini yang mengarah kepada Bupati Ali Bin Dahlan yang hanya sebatas membantu
memberikan penilaian kelayakan adanya tukar guling. Karena kewenangan
sepenuhnya berada pada pemerintah Desa sebagai pemangku pemegang hak ulayat
(adat) desa.