“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Kamis, 11 Juli 2013

MELURUSKAN PEMAHAMAN KELIRU TENTANG TANAH PECATU DESA.


(KASUS TANAH PECATU DESA APITAIK)

Oleh: Yanis Maladi[1]

          
                Tanah Pecatu/adat di setiap daerah memiliki latar belakang historis berbeda  antara daerah satu dengan daerah lainnya. Namun konsepsi secara umum tanah adat memiliki kesamaan jika dicermati dari aspek fungsi dan kedudukan tanah adat serta aturan yang mengatur hubungan antara tanah dengan masyarakat adat yakni masih didasarkan pada ketentuan hukum adat.  Konsep tanah pecatu di Lombok mempunyai kesamaan dengan konsep tanah bengkok yang dikenal dalam sistem agraris dipulau Jawa, Tanah hak Binua di Kalimantan ataupun tanah hak Nagari (sako) di Minangkabau,yang dipandang sebagai pemberian bagian dalam hal ini tanah kepada pejabat di desa sebagai bagian dari pemerintahan atau pemberian oleh Raja kepada punggawa-punggawa istana yang ia senangi dan percayai, untuk bagian dari yang disebut pertama lebih difungsikan bagi jaminan hidup keluarga kepala desa dan pamong-pamong desa. Tanah pecatu yang dikenal dalam rumpun adat suku sasak dipulau Lombok dikonsepsikan sebagai tanah yang diberikan kepada pejabat tertentu oleh masyarakat adat untuk menyelenggarakan pemerintahan di wilayahnya berdasarkan prinsip bahwa tanah tersebut diberikan selama yang bersangkutan memangku jabatan dan dapat dianggap suatu pembayaran kepada kepala desa oleh persekutuan untuk memelihara keluarganya. Tanah-tanah ini adalah tanah hak milik adat di mana mereka mempunyai hak atas pendapatan dan penghasilan dari tanah itu.
                Dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) memang secara eksplisit tidak menyebut tentang tanah pecatu. Namun tanah yang serupa dengan tanah pecatu dapat dikategorikan sebagai tanah ulayat karena terhadap tanah pecatu masih diatur dengan ketentuan hukum adat setempat, dan melekat hak komunal dan secaram umum dalam pasal 3UUPA disebut sebagai hak ulayat. Dengan demikian secara umum Tanah Pecatu  merupakan tanah yang dimiliki oleh desa yang bersumber dari adat-istiadat sendiri guna diberikan kepada kepala desa dan perangkat desa yang bersangkutan.  Dalam peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa yang termuat dalam Pasal 1 ayat (5), yang dimaksud Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.  
Kasus Tukar Guling Tanah Pecatu Desa Apitaik Tahun 2007
                Berdasarkan uraian sebelumnya tanah pecatu desa karena kepemilikan tanah pecatu bersumber dari adat, tanah Pecatu sebagai Tanah adat tidak boleh diperjual-belikan, namun boleh dialihkan kepada pihak lain atau pihak ketiga dengan cara pelepasan tanah kas desa dengan cara pelepasan hak melalui pemberian ganti rugi dan dengan cara tukar menukar (tukar guling) tanah tersebut dengan tanah lain. Pelepasan hak apabila status tanah yang dimohonkan adalah tanah hak dan adanya kesediaan pemegang hak untuk melepaskan tanahnya.  Tentunya mekanisme pelepasan tanah pecatu yang bersumber dari tanah adat harus didasarkan kepada mekanisme yang diakui oleh stakeholder pimpinan dan perwakilan masyarakat desa (adat) setempat. biasanya dilakukan melalui musyawarah mufakat yang difasilitasi kepala desa, tokoh masyarakat dan badan perwakilan desa, sebelum disetujui untuk dilakukan tukar guling tanah. Tukar menukar (tukar guling) tentunya harus tetap berlandaskan kepada aturan hukum yang ada, yakni kesepakatan kedua belah pihak.

                Namun yang perlu diperhatikan adalah mekanisme tukar menukar atau tukar guling (ruislag) tanah pecatu yang berasal dari hak adat/ aset desa berbeda dengan mekanisme tukar menukar tanah pecatu yang berkedudukan sebagai aset daerah. Dalam pengaturannya, tanah pecatu yang berkedudukannya sebagai aset daerah merupakan kekayaan milik negara yang proses pengalihannya diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 350/KMK.03/1994 Tentang Tata Cara Tukar Menukar Barang Milik/ Kekayaan Negara.
                Ketentuan pengelolaan barang/kekayaan milik negara/daerah lebih lanjut kemudian diatur secara baku dalam Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.17 Tahun 2007 tentang Pedoman tekhnis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Pengaturan secara ketat mengenai mekanisme tukar guling tanah kekayaan negara/aset negara dan daerah harus dimaknai dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan daerah yang berpotensi merugikan negara dan rakyat.
                Dalam kasus di Desa Apitaik permasalahan tukar guling tanah pecatu bermula dari surat Kepala Desa Apitaik tertanggal 4 Agustus 2007 No.593/79/PEM/2007 ditujukan kepada Camat Pringgabaya. Yang kemudian diteruskan oleh Camat Pringgabaya kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Timur yang ditujukan kepada Kabag Pemdes Setda Kabupaten Lombok Timur. Berikutnya pihak Setda menurunkan tim Pemeriksaan. Sejalan dengan kesaksian sekda Lotim pada saat itu di Pengadilan, setelah mendengar keterangan dari Asisten 1 M. Amin sebagai ketua Tim 9 (Tim telaah) bahwa memang tidak ada masalah terhadap proses tukar guling selama itu disepakati oleh seluruh elemen Pemerintahan Desa sebagai perwujudan kehendak masyarakat desa. 
                Pada dasarnya, dalam kasus ini jelas telah terjadi kekeliruan dalam pemaknaan kata Pecatu desa yang dianggap sebagai Aset Daerah. Tanah Pecatu Desa yang bersumber dari aset desa, secara otomotis proses tukar guling tanah bukan menjadi domein Pemerintah daerah sehingga pada prinsipnya tidak diperlukan izin dari pemerintah daerah sepanjang ditujukan demi kepentingan masyarakat desa. Kewenangan itu murni menjadi otonomi desa, yang mekanisme harus disetujuui oleh Kepala Desa dan BPD sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Desa dengan mendapat masukan dari tokoh masyarakat (adat) dan masyarakat (adat) setempat.  
                Bupati Lombok Timur yang kedudukannya sebagai kepala daerah memang benar mengeluarkan SK untuk dibentuknya tim peneliti tukar guling sebagai tanggapan atas surat permohonan kepala desa yang meminta pertimbangan kepala daerahnya.            SK dibentuknya tim peneliti oleh Bupati, semata-mata ditujukan agar proses Tukar Guling tidak merugikan masyarakat desa, karena kedudukan tanah pecatu bersumber dari hak adat (masyarakat), sehingga jangan sampai dengan adanya tukar guling, masyarakat dirugikan. Selanjutnya, SK pembentukan tim peneliti pada tujuannya ditujukan  untuk memberikan masukan atau saran terhadap tukar guling yang akan dilakukan.
                Ini didukung dalam fakta yang terungkap dalam persidangan, dimana Bupati tidak pernah mengeluarkan SK untuk tukar guling, karena pemerintah daerah Lombok Timur mengetahui secara pasti kedudukan Tanah kadus Gubuk Montong desa Apitaik merupakan tanah pecatu yang bersumber dari aset desa bukan aset daerah. SK Bupati Lotim yang membentuk Tim 9 yang diketuai oleh Asisten I saat itu berdasar hasil telaahnya dijelaskan bahwa penilaian terhadap tukar guling digambarkan tidak merugikan desa dan menguntungkan karena tanahnya lebih luas dibanding tanah pecatu milik Kadus Gubuk Montong yang semula hanya memiliki luas 5062 m2 ditukar dengan tanah yang memiliki luas 8188 m2.         Dari sisi Produktifitas Tanah, berdasarkan hasil telaah juga terungkap bahwa, Tanah Pecatu Desa Kadus gubuk Montong dengan bertambah luasnya tanah dapat memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat, yang pada awalnya tanah Pecatu hanya mengahasilkan Rp 2,5 juta/per tahun sebelum penukaran, dan setelah penukaran penghasilannya dapat bertambah menjadi Rp. 7,5 juta per tahun.      
                        Bupati Lombok timur dan jajarannya dalam hal ini telah berupaya maksimal untuk bertindak secara progresif dan responsif dalam rangka sebatas membantu desa memberikan penilaian/ pertimbangan kelayakan tukar guling yang akan dilakukan, dengan tujuan agar jangan sampai tukar guling ini yang secara aturan memang merupakan kewenangan desa kemudian hari ternyata merugikan masyarakat. Tukar guling aset desa tidak harus melalaui persetujuan DPRD, karena bersumber dari hak adat (ulayat) yang dilindungi oleh negara dan diatur dalam konstitusi negara pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 jo. pasal 5 UUPA yang berkaitan dengan eksistensi tanah hak milik adat termasuk pecatu desa. Hal ini juga dikuatkan dengan Peraturan pemerintah No.72 tahun 2005 Tentang Desa pasal 68 ayat (3) yang menyebutkan bahwa kekayaan desa tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan alasan apapun. Bahkan menurut pasal 201 ayat (2) UU 32 Tahun 2004 Tentang pemerintah daerah, secara jelas disebutkan walaupun status desa berubah menjadi kelurahan, kekayaanya desa yang beralih statusnya menjadi kelurahan tetap dikelola oleh pemerintah desa/kelurahan yang bersangkutan.
                 Terakhir, hingga saat ini tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa Tanah Pecatu Desa Apitaik sebagai Aset Daerah.  Pada dasarnya Penetapan suatu tanah menjadi Tanah milik daerah/ inventaris daerah/ aset daerah, tentunya harus bersandar dari peraturan yang ada yakni mengacu pada peraturan perundang-undangan terkait. Penetapan aset daerah seharusnya mengacu pada PP No.6 tahun 2006 dan pelaksanaan tekhnisnya mengacu kepada Permendagri No.17 Tahun 2007 tentang Penetapan Aset daerah. Pada kenyataan berdasarkan fakta-fakta yang ada, status tanah pecatu hanya didasarkan pada buku inventaris “tak bertuan” yang tidak ada legitimasi pejabat daerah baik Kepala Daerah, DPRD maupun pejabat bewenang lainnya pada saat terjadinya tukar Guling oleh Pimpinan Pemerintah Desa. Oleh karena itu wajar jika Jaksa, tidak bisa melanjutkan kasus ini yang mengarah kepada Bupati Ali Bin Dahlan yang hanya sebatas membantu memberikan penilaian kelayakan adanya tukar guling. Karena kewenangan sepenuhnya berada pada pemerintah Desa sebagai pemangku pemegang hak ulayat (adat) desa.



                [1]  Ahli Hukum Pertanahan Universitas Mataram

1 komentar:

  1. selamat pagi Pak Yanis ... Apa kabar ? semoga selau dalam keadaan sehat dan sukses...

    BalasHapus