Seseorang tidak boleh menanggung beban kerugian atas
kesalahan orang lain.
Oleh : Arif Rahman Maladi, S.H.LL.M
Ketua Tim Detasemen Khusus Alkhaer
Sengketa Perselisihan hasil
pemilukada adalah sebuah fenomena yang wajar dalam sebuah proses demokrasi
pasca reformasi 1998. Pada hakikatnya, penyelesaian sengketa pemilukada adalah
upaya hukum terakhir yang diberikan negara kepada warga negaranya bilamana
tidak puas menerima hasil pemilukada. Jaminan perlindungan ini adalah salah
satu bentuk hak asasi yang dijamin oleh konstitusi UUD NRI 1945.
Jika diperhatikan dari proses jalannya
persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) Terkait dengan gugatan yang diajukan
oleh Tim advoksi SUFI yang menolak hasil rekapitulasi KPUD Kabupaten Lombok
Timur yang menetapkan Alkhaer sebagai calon bupati dan wakil bupati lombok
Timur, saya melihat peluang SUFI untuk bisa memenangkan gugatan sangat jauh
dari harapan. Ada 2 poin penting pendekatan yang saya gunakan yang perlu kita
perhatikan dalam melihat melihat peluang tersebut. Pertama dari obyek sengketa
dan perluasan obyek sengketa yang meliputi pelanggaran-pelanggaran yang
diindikasikan mempengaruhi hasil penghitungan suara.
1. Sengketa Pemilukada adalah sengketa perselisihan hasil
penghitungan suara.
Pada dasarnya yang menjadi obyek
perselisihan dalam sengketa pemilukada berdasarkan amanah UUD 1945 dan UU 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah konstitusi yang peraturan tekhnisnya diatur dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi No.15 Tahun 2008. Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil
penghitungan suara yang
ditetapkan oleh Termohon (KPUD) yang mempengaruhi: (a). penentuan Pasangan
Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada; (b) terpilihnya Pasangan
Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Dalam proses pembuktian, pihak pemohon
diharapkan mampu menunjukan alat bukti pembanding yang jelas untuk menunjukan
telah terjadinya kesalahan ataupun pelanggaran dalam proses penghitungan suara
yang dilakukan termohon (KPUD), sehingga telah terjadi perbedaan hasil
penghitungan suara yang ditetapkan KPUD dengan hasil penghitungan suara dari
pemohon. Seperti dalam kasus Pilkada Kota Palembang beberapa waktu lalu, dimana
pemohon berhasil menunjukan telah terjadi manipulasi data yang dilakukan oleh
KPUD dari tingkat TPS hingga tingkat Kecamatan, yang menyebabkan pemohon
kehilangan suara. Dalam proses pembuktiannya selama persidangan, pemohon dapat
menunjukan hasil rekapitulasi pemohon yang didasarkan dari hasil penghitungan
yang bersumber dari form C1 KWK yang dijadikan sebagai dasar perhitungan
pemohon, Sehingga setelah MK melakukan pemeriksaan selama proses persidangan,
dan mengcrosscek dengan seksama kebenaran data yang dijadikan dasar
penghitungan suara oleh pemohon, MK kemudian memberikan penetapan penghitungan
suara yang benar yakni sesuai dengan hasil penghitungan pemohon.
Berbeda dengan kasus di Kabupaten
lombok Timur, baik selama dipersidangan di MK, tim advokasi SUFI tidak mampu
menunjukan alat bukti pembanding hasil penghitungan suara yang dijadikan
sebagai obyek perselisihan. Tim SUFI terkesan memaksakan gugatan dengan
menggunakan alat bukti seadanya dengan membuat konstruksi seolah-olah tidak
memiliki alat pembanding penghitungan
suara yang bersumber dari form C1 KWK_KPU dan menekankan kepada terjadinya
pelanggaran yang Terstruktur, Sistematis, Masif
(TSM).
Anehnya, dalam materi gugatan pun,
tidak dicantumkan hasil penghitungan suara menurut versi TIM SUFI. Kesaksian yang ada selama
persidangan juga tidak pernah ada yang menunjukan telah terjadi kesalahan
penghitungan suara atau perubahan hasil penghitungan suara yang signifikan
berpengaruh terhadap hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPUD dengan
hasil penghitungan suara versi TIM SUFI. Bahkan, saksi di Kecamatan Masbagik
misalnya, mengaku tidak memiliki catatan mengenai hasil perolehan suara di
kecamatan Masbagik. Bagaimana mungkin bisa, Saksi Tim pasangan calon yang
walaupun pada saat itu tidak mendapatkan form rekapitulasi di kecamatan, tidak
juga mencatat hasil penghitungan secara manual.
Jika kita merujuk pada keterangan
saksi Termohon (KPUD) pada sidang pembuktian ke III di MK, yang kedudukan
sebagai saksi SUFI di TPS, jelas menerangkan bahwa sebenarnya semua saksi
diberikan C1 KWK_KPU, karena kami diinstruksikan oleh semua kordes untuk melaporkan
C1 KWK setelah proses penghitungan selesai. Dan setelah selesai penghitungan
suara honor kami dibayar. (lihat Risalah Sidang III). Kesaksian ini dikuatkan
setelah hakim MK mengkonfrontir keterangan saksi SUFI yang mengaku tidak
mendapat form rekap pleno PPS dengan anggota PPS, setelah dikonfontir akhirnya
saksi SUFI mengakui tanda tangannya mengenai tanda terima hasil pleno dan form
secara keseluruhan, yang akhirnya hakim meminta saksi SUFI dikeluarkan (lihat
risalah sidang II MK) Keterangan saksi ini menunjukan bahwa patut diduga,
keterangan para saksi SUFI ini benar2 dipaksakan.
Selain itu dalam materi gugatan, pada
dasarnya tim SUFI terkesan hanya ingin membatalkan Keputusan Pleno KPUD, tanpa
ada petitum untuk meminta menetapkan hasil penghitungan suara berdasarkan hasil
penghitungan yang benar menurut “versi” TIM SUFI, melainkan langsung meminta MK
untuk dilakukan proses pemungutan suara ulang di 18 kecamatan. Dapat ditarik
kesimpulan, bahwa tim SUFI sengaja mengaburkan fakta mengenai hasil
penghitungan perolehan suara yang ada, dengan alasan tidak memiliki data
pembanding yang bersumber dari form C1 KWK-KPU. Sehingga dasar meminta
pemungutan suara ulang di 18 Kecamatan ini kurang memiliki landasan yang
mendasar untuk dikabulkan.
Dalam proses persidangan di Mahkamah
Konstitusi pada dasarnya setiap pemohon biasanya wajib menyertakan hasil
Penghitungan versi Pemohon, yang dapat dijadikan data pembanding dalam proses
pembuktian di persidangan. Dari
pembuktian dalam poin pertama ini, Tim Advokasi tidak cerdas melakukan upaya
hukum dan terkesan memaksakan adanya sengketa gugatan dan mencari kesalahan
untuk bisa diadakan pemungutan suara ulang. Untuk itu, kami beranggapan bahwa
TIM SUFI jika benar tidak memiliki data pembanding, maka jelas tim SUFI tidak
siap mengikuti Pemilukada Lombok Timur Tahun ini. Sehingga kesalahan ini murni
dari tim SUFI sendiri, tidak seharusnya kemudian menyalahkan KPUD selaku pihak
penyelenggara pemilu.
2. Pelanggaran TSM (Terstrukur, Sistematis dan Masif )
Perlu pembuktian yang akurat
Sebagai seorang yang pernah meneliti Kasus Sengketa Pemilukada Kotawaringin
Barat di Propinsi Kalimantan Tengah, saya tentunya ingin menggunakan metode
perbandingan dengan kasus yang terjadi di Kabupaten Lombok Timur. Perlu
dipahami bahwa perluasan kewenangan MK yang mengadili obyek perkara diluar
hasil perhitungan suara didasarkan atas Yurisprudensi Putusan MK No. 45/PHPU.D-VIII/2010 tentang Sengketa
Pemilukada Kotawaringin Barat. Pada saat itu MK memenangkan pihak yang kalah
yang terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan pelanggaran yang bersifat
Terstruktur, Sistematis dan Masif atau yang biasa yang kita kenal dengan
pelanggaran TSM.
Perluasan kewenangan MK ini ditafsirkan oleh MK semata-mata dalam rangka untuk melindungi hak kontitusional warga negara. Dalam amar putusannya Hakim menjelaskan bahwa keadilan bukanlah hasil akhir dari proses awal jika sejak semula mengabaikan proses yang semestinya. Hasil akhir dari proses yang tidak adil bukanlah keadilan yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan prinsip keadilan umum (general justice principle). Dan pada akhirnya Mahkamah Konstitusi dalam hal ini terbuka menilai bobot pelanggaran dalam keseluruhan tahapan proses Pemilukada.
Dari penjelasan tersebut, Tim Advokasi terlihat mencari celah agar gugatan dapat diterima oleh hakim, yakni dengan berusaha menarik konstruksi hukum bahwa proses jalannya pemilukada di Lombok Timur telah mengabaikan prinsip dan asas-asas penyelenggaraan Pemilu. Hal ini dikarenakan karena pasangan Alkhaer dinilai telah melakukan melakukan permufakatan jahat dengan KPUD dan melakukan pelanggaran yang bersifat TSM.
Pembuktian pelanggaran TSM diperlukan pembuktian yang berkualitas. Artinya, sebanyak apapun saksi yang dihadirkan (secara kuantitas) namun tidak mampu menunjukan terjadinya pelanggaran bersifat TSM yang berpengaruh signifikan terhadap hasil penghitungan suara tentunya tidak akan masuk dalam pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Jika kita perhatikan dalam Rekapitulasi Perkara di MK di 2013dari 62 Gugatan Pemilukada yang diajukan hanya 4 yang dikabulkan permohonannya untuk sebagian, sedangkan sisanya ditolak, tidak diterima, digugurkan, atau ditarik kembali. Artinya 93,5 % persen gugatan yang tidak diterima (ditolak, gugur atau ditarik kembali). Atau bila kita mengacu sejak putusan 2010, berdasarkan data resmi dari MK dari tahun2011-2013 gugatan yang masuk berjumlah 297 gugatan, 90,6 % gugatan tidak dtiterima.
Keseluruhan gugatan di MK selama ini jika kita perhartikan bersama hampir keseluruhannya membuat konstruksi hukum yang sama yakni dengan membuat permohonan pembatakan keputusan Termohon (KPUD) dengan tuduhan telah terjadi indikasi pelanggaran yang TSM. Tetapi rupanya MK telah paham dengan segala bentuk rangkaian kejadian khusunya dalam upaya pembuktian yang dilakukan oleh pemohon selaku pihak yang kalah. Jika kita berpatokan pada hasil 4 sidang selama proses pemeriksaan perkara di MK. Analisis kami selaku pihak terkait, menyimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang diajukan oleh SUFI selama proses persidangan belum memberikan gambaran sesuai dengan kreteria tersuktur, sistematis dan massif. Hal ini dapat kita lihat dari pelanggaran-palanggaran yang dijadikan sebagai alat bukti sifatnya masih boleh dibilang personal dan lokal.
Saya akan mencoba menguraikan beberapa contoh pelanggaran yang bersifat TSM sebagai berikut:
1. Dalam Yurisprudensi Putusan MK dalam kasus sengketa
pemilukada Kotawaringin barat, pelanggaran bersifat sistematis itu kriterianya
dapat ditemukan atau dibuktikan adanya upaya yang strategi sistemik dari
aktor-aktor tim sukses dilapangan. Dalam persidangan saat itu terungkap dalam
buku yang berjudul
“Bagaimana memenangkan Pasangan ‘SUGESTI”, dimana dalam buku tersebut pada
intinya mengemukakan, ada beberapa prinsip utama yang harus dipenuhi oleh team
pemenangan di dalam melakukan pertempuran gerilya ini: perencanaan matang,
sasaran yang jelas, siapa yang akan dibidik (terutama melakukan money politic), menyerang
diam-diam tanpa terlihat lawan dan SDM yang handal, bahwa yang paling efektif
dan sangat mungkin digunakan ialah pertempuran gerilya dan pertempuran
melambung dengan membentuk pleton-pleton (sukarelawan) pada setiap RT yang
bertugas mendata pemilih serta menyampaikan isu, propaganda juga membagikan merchandise atau uang. Sebagai pelaksanaan dari
strategi tersebut Tim Sukses Pasangan Calon H. Sugianto-H. Eko Somarno, SH.,
telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor KEP-01/TIM KAM/KOBAR/III/2010, tanggal
10 Maret 2010 tentang Penetapan Tim Relawan Kampanye Pemenangan Pasangan Calon
Bupati dan Calon Bupati H. Sugianto-H. Eko Somarno SH., sebanyak 78.238 orang
atau 62,09% dari pemilih yang menggunakan hak pilihnya, di seluruh kecamatan (total
6 kecamatan). dalam sengketa pemilukada Kotawaringin Barat dapat juga
dibuktikan keterlibatan secara terstrukur anggota KPPS, PPS,PPK diseluruh
kecamatan masuk dalam daftar nama relawan tim sukses pemenangan yang menerima
uang dari pasangan calon yang menang. Selain itu, pihak pemohon mampu
menunjukan bukti yang memperkuat kesaksian, karena selama proses ditemukannya
pelannggaran dilengkapi dengan bukti laporan resmi kepada panwaslap hingga pada
tingkat Panwaslu. Kumulasi pelanggaran secara keseluruhan dapat dibuktikan
pemohon diseluruh kecamatan dengan jumlah yang signifikan sangat mempengaruhi
hasil perolehan suara pasangan calon.
Hal ini tentunya sangat jauh berbeda dengan kasus di kabupaten lombok timur, pelanggaran yang diajukan oleh tim SUFI tidak mengambarkan adanya upaya pelanggaran sistematis, terstrukur dan masif baik dari aktor tim pemenangan maupun dari termohon (KPUD). Sebagai contoh misalnya, politik uang yang dituduhkan pihak SUFI. Para saksi yang selama ini mengaku menerima uang (money politic) hanya bersifat parsial/ personal bukan masif, jika kita lihat dari sidang awal hingga akhir (sidang I-IV), para saksi yang mengaku menerima uang ini juga mengaku tidak diintimidasi atau dipaksa memilih pasangan no.1 (alkhaer) melainkan hanya dipesan untuk mengingat pasangan nomor 1 (satu) waktu pencoblosan, artinya tidak ada keharusan/perjanjian yang memaksa saksi untuk memilih nomor 1 (satu) dengan menerima imbalan uang tersebut, walaupun dalam penafsiran saksi, mereka menafsirkan bahwa pemberian itu untuk menyuruh mencoblos nomor 1.(alkhaer).
Lebih dari itu pernyataan para saksi ini tidak ditunjang kesaksian yang menunjukan pembagian uang secara massif kepada pihak lain( kepada orang lain), para saksi yang memberikan kesaksian politik uang semuanya mengaku tidak tahu, selain dirinya siapa lagi yang mendapat aliran uang. Artinya, walaupun memang benar terbukti adanya pemberian uang, kepada saksi tersebut, selama itu tidak mempengaruhi perolehan hasil secara signifikan suara, tidak bisa dijadikan dasar yang kuat untuk membatalkan perolehan hasil suara, hal ini bisa anda temukan dalam beberapa putusan MK yang tidak menerima gugatan pemohon karena tidak signifikan mempengaruhi perolehan hasil suara pasangan calon yang selisihnya mencapai angka 17.339 suara.
Perihal pelanggaran tersruktur yang diajukan oleh TIM SUFI juga tidak memberikan gambaran yang jelas, kenapa demikian? karena selama jalannya proses persidangan TIM SUFI memang terlihat mengarahkan indikasi bahwa telah terjadi keterlibatan penyelenggara pemilu (Anggota KPPS, PPS, PPK) yang secara sengaja tidak memberikan form C1 KWK dan tidak transparan. Tuduhan yang diajukan menurut kami tentunya sangat jauh dari fakta yang ada. Indikasi terstrukur yang dituduhkan oleh TIM SUFI tidak mampu membuktikan adanya conflict of interest para penyelenggara pemilu. Artinya, TIM SUFI tidak mampu menunjukan bahwa dengan tidak diberikan C1 KWK, telah terjadi perubahan suara yang signifikan.
Seharusnya selama proses persidangan TIM SUFI mampu menunjukan kepada hakim, dengan tidak diberikan C1 KWK, TIM SUFI telah dirugikan karena terjadi perubahan suara yang signifikan berdasarkan hasil rekap TIM SUFI yang dilakukan ataupun hasil rekap pihak terkait yang juga ikut sebagai peserta pemilukada (MAFAN dan WALY). Bagaimana kemudian hakim akan memberikan pertimbangan, terhadap tuduhan tanpa adanya barang bukti pembanding hasil rekapitulasi suara yang dilakukan dengan hasil rekapitulasi KPUD, sehingga diperoleh gambaran telah terjadi perubahan perolehan suara secara signifikan yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.
Sangat berbeda halnya jika kita bandingkan dengan kasus di Kotawaringin Barat, pelanggaran terstruktur dibuktikan dengan adanya keterlibatan Penyelenggara Pemilukada di seluruh kecamatan, yang dibuktikan dengan pembuktian bahwa mereka terbukti menerima aliran dana dan masuk dalam daftar tim sukses pasangan calon.
Terakhir, terkait Pelanggaran Masif yang ada seperti yang dijelaskan sebelumnya TIM SUFI nyata-nyata telah gagal membuktikan pelanggaran secara massif. Pelanggaran yang digambarkan oleh saksi TIM SUFI secara keseluruhan adalah pelanggaran yang bersifat PARSIAL (personal), tidak secara menyeluruh di Seluruh Kecamatan, terlebih lagi dari seluruh pelanggaran yang dilaporkan pada persidangan sebagian besar tidak dilaporkan kepada Panwaslap ataupun Panwaslu kabupaten, hal ini menunjukan bahwa bukti yang diajukan TIM SUFI terkesan sangat dipaksakan dan seolah-olah mencari-cari kesalahan. Pelanggaran massif yang dibuktikan pada dasarnya harus memberikan gambaran yang akurat dan mendukung bahwasanya dengan terjadinya pelanggaran tersebut dapat mempengaruhi perubahan suara yang signifikan pasangan calon.
Dari uraian diatas dapat diperoleh gambaran yang jelas
mengenai putusan MK yang akan diputus pada hari Kamis, 13 Juni 2013. Peluang
TIM SUFI untuk bisa “menang” dalam gugatannya sangat kecil. Terlepas dari hal
itu, marilah bersama kita menyiapkan diri untuk bisa menghormati putusan MK
yang akan dikeluarkan, apapun itu hasilnya haruslah dijadikan sebagai momentum
kita bersama bersatu kembali, marilah kita hentikan segala macam perdebatan dan
perbedaan kita, karena esensi dari demokrasi bukanlah siapa menang dan kalah.
Siapapun yang menang kita harus dukung, karena ini bukan kemenangan segelintir
orang tapi ini kemenangan seluruh rakyat Lombok Timur.