“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Selamat Datang di Blog Resmi Arif Rahman Maladi.

Bersama berbagi untuk generasi.

Senin, 16 Februari 2015

MOMENTUM DIBALIK PUTUSAN SARPIN



Oleh:
Arif Rahman Maladi, S.H., LL.M[1]
Dosen Hukum Tata Negara FH Unram dan Direktur Pusat Kajian Hukum dan
 Otonomi Daerah (PuSaKa OTDA )


 Pasca putusan hakim sarpin pada sidang praperadilan Komjen (Pol) Budi Gunawan, episode dunia hukum dinegeri ini seolah memasuki fase baru. Diluar dugaan banyak pengamat dan pakar hukum dinegeri ini, Hakim Sarpin seolah menunjukan kebebasannya untuk memutus perkara berdasarkan amanat kekuasaan kehakiman yang diberikan kepadanya dengan cara mengabulkan sebagian gugatan pemohon , khususnya terkait penetapan tersangka oleh KPK terhadap Komjen (Pol) Budi Gunawan tidak sah.  Hakim Sarpin seakan menorehkan sejarah dengan membuat yurisprudensi  terkait perluasan kewenangan hakim mengadili perkara dengan perluasan penafsiran dan  penerapan hukum (Judex Juris) pada kasus ini.
                Pada dasarnya praperadilan adalah sebuah proses hukum yang diberikan oleh Negara dalam rangka melindungi hak-hak tersangka bilamana dalam proses hukum ditemui adanya indikasi terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh aparat penegak hukum. Perlindungan ini bertujuan agar dalam proses penegakan hukum bisa berjalan sesuai dengan rule of game hukum positif yang berlaku.  Jika mengacu pada Kitab  Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), obyek praperadilan telah diatur secara limitatif (terbatas) yakni hanya mengacu pada Pasal (1) angka 10 dan pasal (77) KUHAP yakni mengatur mengenai sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. Demikian pula, keabsahan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Seperti diketahui dalam putusannya, Hakim Sarpin memperluas obyek limitatif praperadilan pasal 77 KUHAP bahwa status tersangka dapat dimasukan dalam obyek praperadilan dengan konstruksi bahwa dalam proses penetapan tersangka ada upaya paksa. Dalam hukum positif, perluasan penafsiran hakim pada dasarnya merupakan bagian dari kewenangannya berdasarkan Konstitusi pasal 24 UUD NRI 1945 dan  Undang-Undang Kekuasaan kehakiman dalam menjalan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Hakim diberikan ruang untuk memiliki kebebasan menafsirkan dan berpendapat (vrije gebondenheid). Tidak salah memang ketika hakim memberikan tafsiran lebih luas selama mampu membangun konstruksi hukum yang relevan dan logis dengan tidak mengesampingkan asas legalitas yang berlaku di Indonesia.

Momentum dibalik putusan  

Perdebatan hukum pidana sejak bergulirnya kasus ini didominasi perdebatan mengenai perluasan tafsiran obyek praperadilan yang diatur oleh KUHAP. Padahal jika dicermati, disisi lain ada hal menarik yang perlu diperhatikan dan dapat dijadikan sebagai momentum positif bagi perjalanan penegakan hukum di negeri ini. Pertama, Putusan ini seakan ingin memberikan gambaran kepada bangsa ini bahwa proses penegakan hukum masih terkontaminasi dengan faktor-faktor diluar hukum. Hakim Sarpin seakan memberikan teguran kepada KPK, untuk memperbaiki prosedur penegak hukumnya yang selama ini berjalan. KPK bukan lembaga yang diisi oleh malaikat-malaikat suci yang tak luput dari salah. Kesaksian Hasto mengenai lobi politik  Abraham Samad (Ketua KPK) bukan tidak mungkin memperkuat keyakinan hakim bahwa dalam penetapan ini terindikasi adanya konflik kepentingan. Tentu ini dapat dijadikan sebagai sebuah teguran berharga bagi KPK dalam upaya mengevaluasi prosedur penegakan hukumnya, sehingga kedepannya KPK bisa berjalan lebih baik lagi dan tidak ada konflik kepentingan (conflict interest).  Dan perlu dipahami putusan ini bukanlah akhir dari segalanya, meskipun ada preseden perluasan obyek praperadilan dalam kasus ini, bukan berarti tidak Komjen (Pol) Budi Gunawan bisa kembali ditetapkan sebagai tersangka. KPK hanya tinggal memperbaiki prosedur dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang belum dipenuhi sebelum menetapkan kembali Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai tersangka.    
Yang kedua, Publik atau masyarakat dapat menilai secara langsung bagaimana institusi penegak hukum secara fair. Dinamika kisruh KPK – Polri yang selama ini telah banyak menyita perhatian pubik memberikan gambaran bagaimana keteladanan kedua institusi dalam penegakan hukum. Mangkirnya para perwira tinggi polri dari panggilan KPK, Pelanggaran HAM penjemputan paksa/penangkapan Bambang Wijayanto (BW) dan upaya kriminalisasi seluruh pimpinan KPK dapat menjadi penilaian mana institusi yang memang perlu dibenahi dan mendapat perhatian serius dalam program revolusi mental ala presiden Jokowi.
Yang Ketiga, sudah saatnya para pakar dan ahli hukum di Negara ini mulai memikirkan bagaimana membangun Negara hukum ala Indonesia ini dengan memadukan konsep Rule of law dan Rule of ethic. Cerita dibalik lobby politik ketua KPK Abraham Samad versi Hasto hingga cerita mengenai keterlibatan Jenderal Polisi aktif Budi Gunawan dalam politik praktis bersama PDI Perjuangan pada saat Pilpres lalu harus segera dibuka kepada publik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi di tubuh kedua institusi ini.  Ironi tentunya, jika berbicara penegakan hukum dengan mengesampingkan upaya penegakan etik yang merupakan marwah dari upaya penegakan hukum yang bersih dan berwibawa.
Terakhir, perlu diwaspadai bahwa putusan ini akan membawa dampak laten bagi sistem hukum di Indonesia , dan dikhawatirkan akan memperberat proses penegakan hukum di negeri ini. Bukan tidak mungkin para tersangka baik yang ditetapkan oleh kejaksaan, polri ataupun KPK kini bersiap berbondong-bondong mengajukan praperadilan dengan terbukanya celah obyek praperadilan baru terhadap penetapan tersangka. Terdapat peluang besar terjadi pelemahan proses penegakan hukum di negeri ini khususnya pada pemberantasan korupsi. Disisi lain, KPK selaku lembaga yang diberikan amanah besar memberantas korupsi akan semakin menghadapi perlawanan extraordinary dari para penjahat kerah putih di negeri ini. Bagaimana tidak kini para penyelenggara Negara atau bahkan elite politik yang menyandang status tersangka sudah  mencium peluang mengajukan praperadilan terhadap penetapan tersangka yang telah dilakukan oleh institusi penegak hukum. 

SAVE KPK, SAVE POLRI.


               


[1]