Oleh:
Arif
Rahman Maladi, S.H., LL.M[1]
Dosen Hukum Tata Negara FH Unram dan
Direktur Pusat Kajian Hukum dan
Otonomi Daerah (PuSaKa OTDA )
Pada
dasarnya praperadilan adalah sebuah proses hukum yang diberikan oleh Negara dalam
rangka melindungi hak-hak tersangka bilamana dalam proses hukum ditemui adanya
indikasi terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh aparat penegak
hukum. Perlindungan ini bertujuan agar dalam proses penegakan hukum bisa berjalan
sesuai dengan rule of game hukum
positif yang berlaku. Jika mengacu pada Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
obyek praperadilan telah diatur secara limitatif (terbatas) yakni hanya mengacu
pada Pasal (1) angka 10 dan pasal (77)
KUHAP yakni mengatur mengenai sah atau tidaknya
suatu penangkapan dan atau penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. Demikian pula, keabsahan
ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Seperti
diketahui dalam putusannya, Hakim Sarpin memperluas obyek limitatif praperadilan
pasal 77 KUHAP bahwa status tersangka dapat dimasukan dalam obyek praperadilan
dengan konstruksi bahwa dalam proses penetapan tersangka ada upaya paksa. Dalam
hukum positif, perluasan penafsiran hakim pada dasarnya merupakan bagian dari
kewenangannya berdasarkan Konstitusi pasal 24 UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Kekuasaan kehakiman dalam
menjalan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Hakim diberikan ruang untuk memiliki
kebebasan menafsirkan dan berpendapat (vrije gebondenheid). Tidak salah
memang ketika hakim memberikan tafsiran lebih luas selama mampu membangun
konstruksi hukum yang relevan dan logis dengan tidak mengesampingkan asas
legalitas yang berlaku di Indonesia.
Momentum dibalik putusan
Perdebatan hukum
pidana sejak bergulirnya kasus ini didominasi perdebatan mengenai perluasan
tafsiran obyek praperadilan yang diatur oleh KUHAP. Padahal jika dicermati, disisi
lain ada hal menarik yang perlu diperhatikan dan dapat dijadikan sebagai momentum
positif bagi perjalanan penegakan hukum di negeri ini. Pertama, Putusan ini seakan ingin memberikan gambaran kepada bangsa
ini bahwa proses penegakan hukum masih terkontaminasi dengan faktor-faktor
diluar hukum. Hakim Sarpin seakan memberikan teguran kepada KPK, untuk
memperbaiki prosedur penegak hukumnya yang selama ini berjalan. KPK bukan
lembaga yang diisi oleh malaikat-malaikat suci yang tak luput dari salah. Kesaksian
Hasto mengenai lobi politik Abraham Samad
(Ketua KPK) bukan tidak mungkin memperkuat keyakinan hakim bahwa dalam
penetapan ini terindikasi adanya konflik kepentingan. Tentu ini dapat dijadikan
sebagai sebuah teguran berharga bagi KPK dalam upaya mengevaluasi prosedur
penegakan hukumnya, sehingga kedepannya KPK bisa berjalan lebih baik lagi dan
tidak ada konflik kepentingan (conflict interest). Dan perlu dipahami putusan ini bukanlah akhir
dari segalanya, meskipun ada preseden perluasan obyek praperadilan dalam kasus
ini, bukan berarti tidak Komjen (Pol) Budi Gunawan bisa kembali ditetapkan
sebagai tersangka. KPK hanya tinggal memperbaiki prosedur dan memenuhi
persyaratan-persyaratan yang belum dipenuhi sebelum menetapkan kembali Komjen
(Pol) Budi Gunawan sebagai tersangka.
Yang kedua, Publik atau masyarakat dapat
menilai secara langsung bagaimana institusi penegak hukum secara fair. Dinamika
kisruh KPK – Polri yang selama ini telah banyak menyita perhatian pubik memberikan
gambaran bagaimana keteladanan kedua institusi dalam penegakan hukum.
Mangkirnya para perwira tinggi polri dari panggilan KPK, Pelanggaran HAM
penjemputan paksa/penangkapan Bambang Wijayanto (BW) dan upaya kriminalisasi
seluruh pimpinan KPK dapat menjadi penilaian mana institusi yang memang perlu
dibenahi dan mendapat perhatian serius dalam program revolusi mental ala
presiden Jokowi.
Yang Ketiga, sudah saatnya para pakar dan
ahli hukum di Negara ini mulai memikirkan bagaimana membangun Negara hukum ala
Indonesia ini dengan memadukan konsep Rule of law dan Rule of ethic. Cerita
dibalik lobby politik ketua KPK Abraham Samad versi Hasto hingga cerita mengenai
keterlibatan Jenderal Polisi aktif Budi Gunawan dalam politik praktis bersama
PDI Perjuangan pada saat Pilpres lalu harus segera dibuka kepada publik sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi di tubuh kedua institusi
ini. Ironi tentunya, jika berbicara
penegakan hukum dengan mengesampingkan upaya penegakan etik yang merupakan
marwah dari upaya penegakan hukum yang bersih dan berwibawa.
Terakhir, perlu
diwaspadai bahwa putusan ini akan membawa dampak laten bagi sistem hukum di
Indonesia , dan dikhawatirkan akan memperberat proses penegakan hukum di negeri
ini. Bukan tidak mungkin para tersangka baik yang ditetapkan oleh kejaksaan,
polri ataupun KPK kini bersiap berbondong-bondong mengajukan praperadilan
dengan terbukanya celah obyek praperadilan baru terhadap penetapan tersangka. Terdapat
peluang besar terjadi pelemahan proses penegakan hukum di negeri ini khususnya
pada pemberantasan korupsi. Disisi lain, KPK selaku lembaga yang diberikan
amanah besar memberantas korupsi akan semakin menghadapi perlawanan extraordinary
dari para penjahat kerah putih di negeri ini. Bagaimana tidak kini para
penyelenggara Negara atau bahkan elite politik yang menyandang status tersangka
sudah mencium peluang mengajukan
praperadilan terhadap penetapan tersangka yang telah dilakukan oleh institusi
penegak hukum.
SAVE KPK, SAVE POLRI.