“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Senin, 04 April 2011

CAPRES INDEPENDEN, REVOLUSI DEMOKRASI INDONESIA

Oleh: Arif Rahman Maladi

Gagasan DPD untuk mengusung amandemen ke lima (5) UUD 1945, mendapat banyak perhatian masyarakat. Selain ingin mengembalikan fungsinya yang selama ini “dikebiri” di parlemen, DPD juga mengusung gagasan untuk mengusung Capres independen di 2014. Hal ini kemudian yang menuai pro dan kontra khususnya dikalangan elit politik. Elite politik seakan tak rela bilamana gagasan ini kemudian disetujui dan diimplementasikan di Indonesia. Gagasan capres Independen, didasari oleh jaminan hak konstitutional warga Negara yang ada dalam UUD 1945. Konstitusi menegaskan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. artinya disini bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Masih segar dalam ingatan kita, ketika pada tahun 2009 Fadjroel Rahman gagal maju untuk menjadi calon independent setelah gugatannya ke Mahkamah Konstitusi ditolak secara keseluruhan. Pada saat itu pemohon (fadjroel cs) berdalil bahwa tafsiran pasal 6A UUD 1945 perihal pengajuan calon presiden melalui partai bukan merupakan hak ekslusif partai sebagai satu-satunya penyalur calon presiden dan wakil presiden. Hak yang diberikan konstitusinya tentunya harus sejalan dengan hak setiap warga Negara untuk ikut berpartisapasi dalam pemerintah seperti yang diamanatkan dalam pasal 28D. Walaupun gugatan ini ditolak secara menyeluruh perlu diingat putusan tersebut, tidak mendapat dukungan penuh seluruh hakim konstitusi. Tiga Hakim Konstitusi pada putusan tersebut memberikan pendapat berbeda (dissenting opinions) yang intinya menyatakan bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus ditafsirkan membuka ruang bagi terbukanya calon presiden perseorangan di dalam UU Pilpres.

Momentum kebangkitan wacana capres independen disebabkan makin merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik pasca pemilu 2009. Rakyat sudah muak terhadap sikap partai politik di Indonesia yang dari ke-hari tidak komit terhadap perjuangan kepentingan rakyat. Partai politik dianggap telah gagal menjalankan fungsinya sebagai wadah penyerap aspirasi rakyat, saat ini partai politik dinilai hanya memperjuangkan kepentingan partai dan kelompok saja. Hal ini tentu saja sebagai konsekuensi banyaknya tuntutan rakyat yang tidak mampu dijawab oleh wakil rakyat di Senayan.

Indonesia sebagai Negara demokrasi memiliki sifat dasar yakni menempatkan kedaulatan berada ditangan rakyat (the owner of ultimate sovereignty). Pasca reformasi, sistem pemilihan presiden berubah menjadi sistem pemilihan langsung, hal ini dilatar belakangi oleh semangat agar pemimpin yang nantinya lahir memiliki legitimasi yang kuat dihadapan rakyat dan menjadi representasi suara rakyat. Perlu diperhatikan, rumusan pasal 6A UUD 1945, bukanlah sebuah ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan, melainkan hanya sebuah ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme atau prosedur pencalonan yakni melalui partai poltik, dan prosedur seharusnya tidak boleh menafikan sesuatu yang lebih substansial yakni persyaratan yang merupakan hak konstitutional warga Negara yang dijamin oleh konstitusi.

Untuk itu Indonesia sebagai Negara demokrasi, seharusnya memang tidak menutup ruang terhadap gagasan ini. Pandangan elite politik yang menyatakan bahwa kinerja presiden dari calon independen akan tidak efektif tanpa dukungan partai diparlemen adalah sebuah argumen yang tidak mendasar. Politik adalah kompromi, sekarang semua itu akan kembali kepada politik apa yang akan ditawarkan oleh seorang Presiden dari calon independen. Kompromi seperti apa yang akan dibawa untuk mengusung pemerintahannya kedepan, dan tentunya hal ini jelas akan meminimalisir kepentingan politik golongan. Karena selama ini kepentingan partai selalu diatas kepentingan rakyat.

Gagasan calon independen seharusnya dimaknai sebagai sebuah gagasan revolusioner, gagasan yang harus terus diperjuangkan bersama. Partai politik seharusnya sadar, bahwa gagasan ini adalah sebuah kritikan kongkret terhadap kinerja partai politik. Elite politik seharusnya tidak perlu “kebakaran jenggot” ketika gagasan ini kembali bergulir, dan seakan-akan takut akan kehilangan “proyek”- nya. Kalau memang partai politik tetap ingin memiliki nilai dihadapan rakyat maka sudah seharusnya kepentingan-kepentingan partai dikesampingkan dulu dengan mengutamakan kepentingan yang memihak rakyat, dengan melakukan perbaikan kinerja yang produktif. dan untuk hal ini biarlah rakyat yang menjawab, karena suara rakyat bukan suara partai.

0 komentar:

Posting Komentar