(BAHAN KAJIAN UNTUK PENEGAK HUKUM DI INDONESIA)
Arif
Rahman Maladi, S.H., LL.M[1]
Sejak penerapan sistem pemilihan
kepala daerah (Pilkada) secara langsung di Indonesia pada Juli 2005, ternyata
belum mampu menyelesaikan permasalahan di daerah, melainkan makin menimbukan
banyak masalah. Teori dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat yang merupakan
nilai-nilai dalam demokrasi penerapannya masih jauh dari harapan. Praktik
demokrasi lokal selama ini lebih banyak diwarnai dengan sejumlah eforia diatas
fondasi yang masih sangat rapuh. Dalam proses Demokrasi langsung saat ini,
terkadang para kandidat yang bertarung belum siap kalah, sehingga seringkali
berujung pada gesekan politik antar pendukung. Sikap integritas pemimpin
sebagai negarawan belum banyak dan mampu dicontohkan dalam konteks politik
lokal didaerah. Seperti diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar di
Harian Suara NTB beberapa waktu lalu di Lombok mengatakan bahwa mentalitas
pemimpin tidak siap kalah menjadi alasan kuat banyaknya sengketa pemilukada
yang harus berakhir di Mahkamah Konstitusi. Akibatnya,sebagian pendukung dan
simpatisan kandidat juga ikut tidak siap menerima kekalahan dalam ajang pesta
demokrasi lokal. Dalam konteks politik gambaran tersebut menunjukan bahwa
sebagian rakyat belum siap menerima perubahan dari mass politics society
menuju civil society. Proses
politik dan demokrasi di daerah lebih
banyak ditentukan oleh kuantitas massa yang dimobilisir (mobilized mass),
bukan oleh visi, kebajikan maupun organized mass.
Dalam setiap pagelaran Pilkada,
walaupun telah memberi peluang yang terbuka bagi hadirnya aktor-aktor politik
baru, juga membuka peluang munculnya para broker (makelar) politik. Para broker
politik inilah yang menjadi pemain yang penting, baik dalam membuat opini
publik ataupun mengerahkan massa baik menjelang hingga pasca pelaksanaan
Pilkada, dengan tujuan untuk mencari kedudukan, kekayaan atau mempertahankan
kekuasaan. Mengikuti pendapat para filsuf zaman Yunani Kuno, massa yang
digerakkan oleh para broker tersebut bukanlah rakyat, warga atau publik
yang sejati, melainkan mereka hanyalah sekedar gerombolan massa (the mob)
yang sebenarnya merusak demokrasi lokal, karena cenderung
terorientasi kepada suatu tujuan tertentu misalnya dengan cara permainan
politik uang (money politic), dan hal ini sudah menjadi rahasia umum.
Kehadiran para broker politik inilah yang seringkali menjadi pemantik konflik
di masyarakat yang pada akhirnya mendegradasi nilai-nilai demokrasi lokal. Jika
kita perhatikan broker politik telah menjadikan organisasi masyarakat (ormas)
yang ada pada masyarakat baik itu dibidang keagamaan, sosial dan sebagainya
seringkali menyimpang dari koridornya karena sudah ikut “terkontaminasi” oleh
kepentingan politik para broker. Para broker politik ini yang akan secara terus
menerus melakukan segala upayanya dalam mencapai tujuan politiknya. Tameng
penegakan hukum, penegakan keadilan ataupun mengatasnamakan rakyat dijadikan sebagai
alat dalam upayanya mencapai tujuannya tanpa mempedulikan stabilitas politik di
masyarakat, yang pada muaranya menyebabkan masyarakat menganggap pilkada
sebagai sebuah perayaan politik yang sarat dengan pesta, kompetisi, sensasi,
mobilisasi, money politics, intrik, caci-maki, dan sebagainya.
Kehadiran
broker politik dalam pagelaran demokrasi lokal, telah mengakibatkan sebagian
masyarakat terjerumus pada perwujudan euforia politik. Efouria adalah
kegembiraan sesaat, yang menggambarkan bahwa proses politik hanya berlangsung
dalam situasi darurat jangka pendek. Kegembiraan jangka pendek itu tidak bakal
membuahkan demokrasi lokal yang kokoh dan berkelanjutan, kecuali hanya
membuahkan kekecewaan dan ketidakpercayaan.
Eforia ini hanya datang dan pergi begitu saja berbarengan dengan pesta
politik. Eforia ini selanjutnya akan berubah menjadi kekecewaan ketika “pesta”
telah usai, tetapi ia akan datang lagi kala “pesta” bakal digelar kembali.
0 komentar:
Posting Komentar