“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Selasa, 16 Juli 2013

“BROKER POLITIK DAN DEGRADASI NILAI DEMOKRASI”

 (BAHAN KAJIAN UNTUK PENEGAK HUKUM DI INDONESIA)
                                               
  Arif Rahman Maladi, S.H., LL.M[1]

               
Dalam sebuah Negara Demokrasi, Hukum haruslah menjadi panglima sebagai rule of game dalam kehidupan berdemokrasi. Sebagai sebuah sistem yang disepakati bersama oleh masyarakat, Demokrasi haruslah ditaati sebagai sebuah mekanisme yang mampu membawa cita-cita masyarakat dalam perwujudan menggapai tujuan bersama yakni kesejahteraan (walfare state). Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Dengan demikian pengertian demokrasi itu sendiri adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
                Sejak penerapan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung di Indonesia pada Juli 2005, ternyata belum mampu menyelesaikan permasalahan di daerah, melainkan makin menimbukan banyak masalah. Teori dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat yang merupakan nilai-nilai dalam demokrasi penerapannya masih jauh dari harapan. Praktik demokrasi lokal selama ini lebih banyak diwarnai dengan sejumlah eforia diatas fondasi yang masih sangat rapuh. Dalam proses Demokrasi langsung saat ini, terkadang para kandidat yang bertarung belum siap kalah, sehingga seringkali berujung pada gesekan politik antar pendukung. Sikap integritas pemimpin sebagai negarawan belum banyak dan mampu dicontohkan dalam konteks politik lokal didaerah. Seperti diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar di Harian Suara NTB beberapa waktu lalu di Lombok mengatakan bahwa mentalitas pemimpin tidak siap kalah menjadi alasan kuat banyaknya sengketa pemilukada yang harus berakhir di Mahkamah Konstitusi. Akibatnya,sebagian pendukung dan simpatisan kandidat juga ikut tidak siap menerima kekalahan dalam ajang pesta demokrasi lokal. Dalam konteks politik gambaran tersebut menunjukan bahwa sebagian rakyat belum siap menerima perubahan dari mass politics society menuju civil society.  Proses politik dan demokrasi di daerah  lebih banyak ditentukan oleh kuantitas massa yang dimobilisir (mobilized mass), bukan oleh visi, kebajikan maupun organized mass.
                Dalam setiap pagelaran Pilkada, walaupun telah memberi peluang yang terbuka bagi hadirnya aktor-aktor politik baru, juga membuka peluang munculnya para broker (makelar) politik. Para broker politik inilah yang menjadi pemain yang penting, baik dalam membuat opini publik ataupun mengerahkan massa baik menjelang hingga pasca pelaksanaan Pilkada, dengan tujuan untuk mencari kedudukan, kekayaan atau mempertahankan kekuasaan. Mengikuti pendapat para filsuf zaman Yunani Kuno, massa yang digerakkan oleh para broker tersebut bukanlah rakyat, warga atau publik yang sejati, melainkan mereka hanyalah sekedar gerombolan massa (the mob) yang sebenarnya merusak demokrasi lokal, karena cenderung terorientasi kepada suatu tujuan tertentu misalnya dengan cara permainan politik uang (money politic), dan hal ini sudah menjadi rahasia umum. Kehadiran para broker politik inilah yang seringkali menjadi pemantik konflik di masyarakat yang pada akhirnya mendegradasi nilai-nilai demokrasi lokal. Jika kita perhatikan broker politik telah menjadikan organisasi masyarakat (ormas) yang ada pada masyarakat baik itu dibidang keagamaan, sosial dan sebagainya seringkali menyimpang dari koridornya karena sudah ikut “terkontaminasi” oleh kepentingan politik para broker. Para broker politik ini yang akan secara terus menerus melakukan segala upayanya dalam mencapai tujuan politiknya. Tameng penegakan hukum, penegakan keadilan ataupun mengatasnamakan rakyat dijadikan sebagai alat dalam upayanya mencapai tujuannya tanpa mempedulikan stabilitas politik di masyarakat, yang pada muaranya menyebabkan masyarakat menganggap pilkada sebagai sebuah perayaan politik yang sarat dengan pesta, kompetisi, sensasi, mobilisasi, money politics, intrik, caci-maki, dan sebagainya.
                Kehadiran broker politik dalam pagelaran demokrasi lokal, telah mengakibatkan sebagian masyarakat terjerumus pada perwujudan euforia politik. Efouria adalah kegembiraan sesaat, yang menggambarkan bahwa proses politik hanya berlangsung dalam situasi darurat jangka pendek. Kegembiraan jangka pendek itu tidak bakal membuahkan demokrasi lokal yang kokoh dan berkelanjutan, kecuali hanya membuahkan kekecewaan dan ketidakpercayaan.  Eforia ini hanya datang dan pergi begitu saja berbarengan dengan pesta politik. Eforia ini selanjutnya akan berubah menjadi kekecewaan ketika “pesta” telah usai, tetapi ia akan datang lagi kala “pesta” bakal digelar kembali.



                [1] Dosen Fakultas Hukum Unram, Peneliti pada pusat kajian Konstitusi KMMIH UGM 

0 komentar:

Posting Komentar