“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Rabu, 06 Oktober 2010

Degradasi Nilai-Nilai Demokrasi

DEGRADASI NILAI-NILAI DEMOKRASI

PASCA SISTEM PEMILUKADA LANGSUNG

Oleh :

Arif Rahman F.S,S.H

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM- Yogyakarta

Proses transisi kehidupan bernegara saat ini sedang dirasakan bangsa Indonesia, berawal ketika keruntuhan rezim orde baru melalui gerakan reformasi pada tahun 1998, hingga saat ini bangsa Indonesia masih terus berjuang menata kembali kehidupan kenegaraan menjadi lebih demokratis lagi. Proses menuju sistem demokrasi dalam khazanah teori disebut sebagai demokratisasi. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat[1]. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Dengan demikian pengertian demokrasi itu sendiri adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Proses demokratisasi terbagi dalam dua aspek yakni transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi.

Di Indonesia keruntuhan rezim otoritarian lama adalah awal dimulainya suatu transisi demokrasi yang kemudian dilanjutkan dengan aspek konsolidasi. Proses konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. Menurut Samuel Huntington[2] bahwa ada tiga kemungkinan model demokratisasi yakni, pertama, transformasi (reforma) yaitu demokratisasi terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori proses perwujudan demokrasi. Kedua, Replacement (ruptura), yaitu demokratisasi terjadi ketika kelompok oposisi mempelopori proses perwujudan demokrasi, dan rezim otoriter tumbang atau digulingkan. Ketiga,Transplacement (ruptforma), yaitu demokratisasi terjadi sebagai sebuah hasil tindakan bersama antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi. Untuk di Indonesia sendiri,lebih tepat kiranya kalau proses demokratisasi disebutkan menggunakan model Replecement (ruptura). Ini tergambar karena pihak oposisi yang mempelopori pergerakan 1998 terbukti mampu “menumbangkan” rezim yang berkuasa, hingga akhirnya untuk pertama kali pihak oposisi memenangkan pemilu pada tahun 1999. Proses konsolidasi demokrasi jauh lebih kompleks dan panjang setelah transisi demokrasi. Hal ini disebabkan karena adanya negosiasi (transaksi) politik, yang terkadang disalah satu pihak hendak mempromosikan sistem atau aturan main baru namun tidak juga merusak sistem lama.

Dalam proses konsolidasi inilah struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama proses transisi akan dimantapkan. Hal ini bertujuan agar proses konsolidasi menghasilkan penetapan sistem demokrasi yang secara operasional diharapkan akan memperoleh kredibilitas di hadapan masyarakat. Re-Konstitusi (Amandemen) konstitusi adalah salah satu wujud nyata dari implementasi konsolidasi demokrasi. Re-konstitusi ini diharapkan memberikan jaminan bagi prosedur tetap pembuatan keputusan politik, yang pada akhirnya, implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem politik dan institusi politik. Berdirinya lembaga negara baru seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial,dan sebagainya serta penghapusan beberapa lembaga negara yang dianggap sudah tidak relevan lagi adalah salah satu konskuensi terjadinya demokratisasi. Salah satu “produk” demokratisasi pasca reformasi yang menarik adalah penerapan kembali sistem otonomi daerah seluas-luasnya dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung (pemilukada). Semangat pemberlakuan otonomi daerah ini dilatar belakangi oleh desakan dari daerah-daerah yang menilai pemerintahan sebelumnya cenderung sentralistik, yang berakibat terjadinya ketimpangan pembangunan di Indonesia, sedangkan semangat pemilihan kepala daerah secara langsung dilatar belakanngi oleh harapan agar rakyat didaerah lebih mengenal secara dekat pilihannya untuk memimpin pemerintahan didaerah. Namun sejak diterapkannya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung pada Juli 2005, ternyata belum mampu menyelesaikan permasalahan di daerah, melainkan makin menimbukan banyak masalah. Tingkat korupsi makin tinggi, banyak terjadi penyalahgunaan wewenang kepala didaerah dan ketidakprofesionalan para pemimpin untuk memberikan pelayanan terbaik buat rakyatnya didaerah sudah menjadi fenomena yang biasa. Teori dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat yang merupakan nilai-nilai dalam demokrasi jauh dari harapan. Pemilukada langsung telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang jauh dari harapan rakyat. Hal ini disebabkan karena praktik demokrasi lokal selama ini lebih banyak diwarnai dengan sejumlah eforia diatas fondasi yang masih sangat rapuh. Rakyat masih belum siap menerima perubahan dari mass politics society menuju civil society. Sekarang Indonesia masih dalam sekuen masyarakat transisi, yakni yang kita sebut sebagai mass-politics society[3]. Proses politik dan demokrasi di Indonesia lebih banyak ditentukan oleh kuantitas massa yang dimobilisir (mobilized mass), bukan oleh visi, kebajikan maupun organized mass.

Munculnya Paradigma kekuasaan, kewenangan dan kekayaan menjadi salah satu yang mempengaruhi dan tentunya masih benar-benar dipegang betul oleh para pemegang jabatan politik dalam hal ini para pemimpin di daerah menjadi sebuah jawaban kenapa janji-janji politik tidak terwujud. Ketika terpilih, mereka kerap kali kehilangan visi dan misi untuk memanfaatkan kekuasaan dalam memperjuangkan nilai, sebagaimana mereka ungkapkan pada saat menjelang pemilukada, namun telah bergeser pada orientasi bagaimana mencari dan mempertahankan kekuasaan. Hubungan harmonis pasangan kepala daerah yang terpilih biasanya hanya seumur jagung, dan terjadi ditahun pertama. Setelah itu kepala daerah dan wakilnya saling memperebutkan pengaruh politik untuk memperbutkan kursi periode selanjutnya. Para pemimpin tidak peduli lagi pada tanggung jawab lima tahun kedepan kepada rakyatnya, sehingga para pejabat dilingkungan pemda sering merasa bingung untuk menuruti kehendak kepala daerah atau wakil kepala daerahnya yang memang biasanya berbeda kepentingan politik karena dari partai yang berbeda. Otonomi daerah memang telah memberi kesempatan yang terbuka bagi hadirnya aktor-aktor politik baru, termasuk para broker politik. Mereka berasal dari berbagai macam latar belakang seperti : kyai, akademisi, mahasiswa, LSM, pengusaha, tokoh adat, tokoh masyarakat, preman, dan seterusnya. Dalam setiap Pemilukada, para broker politik ini menjadi pemain yang penting,baik dalam membuat opini publik ataupun mengerahkan massa, dengan tujuan untuk mencari kedudukan atau kekayaan. Mengikuti pendapat para filsuf zaman Yunani Kuno, massa yang digerakkan oleh para broker tersebut bukanlah rakyat, warga atau publik yang sejati, melainkan mereka hanyalah sekedar gerombolan massa (the mob) yang sebenarnya merusak demokrasi lokal[4], karena cenderung terorientasi kepada sesuatu misalnya dengan cara permainan politik uang (money politic), dan hal ini sudah menjadi rahasia umum. Pergeseran nilai-nilai juga dapat kita lihat pada organisasi masyarakat (ormas) masyarakat baik itu dibidang keagamaan, sosial dan sebagainya. Banyak sekali ormas-ormas yang telah menyimpang dari koridornya karena sudah ikut “terkontaminasi” oleh kepentingan politik. Kesimpulan yang bisa kami ambil pada tulisan ini adalah sebagai berikut: Pemilukada sebagai perwujudan demokrasi lokal terkesan kuat bahwa hanya terfokus pada pemilihan, dan sebuah perayaan politik yang sarat dengan pesta, kompetisi, sensasi, mobilisasi, money politics, intrik, caci-maki, dans sebagainya.euforia lokal semata. Pemilukada hanya sekedar eforia belaka. Efouria adalah kegembiraan sesaat, yang menggambarkan bahwa proses politik hanya berlangsung dalam situasi darurat jangka pendek. Kegembiraan jangka pendek itu tidak bakal membuahkan demokrasi lokal yang kokoh dan berkelanjutan, kecuali hanya membuahkan kekecewaan dan ketidakpercayaan. Eforia ini hanya datang dan pergi begitu saja berbarengan dengan pesta politik. Eforia ini selanjutnya akan berubah menjadi kekecewaan ketika pesta telah usai, tetapi ia akan datang lagi kala pesta bakal digelar kembali, begitulah yang terjadi di Indonesia saat ini.



[1] Wikipedia Bahasa Indonesia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi diakses pada 22 September 2010

[2] Samuel P. Huntington, 1995, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta : Grafiti).

[3] Sutoro Eko, Efouria Demokrasi Lokal dalam www.ireyogya.org/sutoro/eforia_demokrasi_lokal diakses pada 22 September 2010

[4] Ibid,.

1 komentar: