“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” - Ir.Soekarno

Minggu, 31 Oktober 2010

PENEGAKAN HUKUM KASUS CENTURY (Perspektif Teori Hukum Filsuf Ionia, “Hukum Sebagai Tatanan Kekuatan”)

Oleh : Arif Rahman F.S

Awal perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat hukum yang selanjutnya disusul oleh dogmatik hukum (ilmu hukum positif). Diantara keduanya terdapat perbedaan yang tajam. Filsafat hukum bersifat sangat spekulatif, sedangkan hukum positif bersifat sangat teknis. Dengan demikian, untuk menjebatani keduanya diperlukan sebuah teori hukum yang semula berbentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer). Teori hukum berisi ciri-ciri umum seperti asas-asas hukum maupun permasalahan yang sama dari berbagai sistem hukum.[1] Tradisi dominan dari sebuah teori hukum dalam pendidikan hukum kita di Indonesia khususnya adalah “teori tentang aturan”. Aturan disini saya maksudkan adalah aturan dalam arti “logika aturan”yang menjadi sumber teorisasi. Apa yang disebut sebagai Rechtside lehre, Begriffsjurispridence, analitycal jurisprudence ataupun rechtdogmatiiek, hanyalah sebuah prefensi yang kebetulan masih mendominasi pendidikan hukum negeri ini. Namun perlu kita sadari diluar teori tersebut, ternyata masih sangat banyak versi lain, semisal theory of natural law, Interestjurisprudenz, Frei rechtslehre, Sociological Jurisprudence, realistic Jurisprudence, Critical Legal Theory, Human Jurisprudence, dan sebagainya.

Bilamana kita mengikuti perkembangan teori hukum tidak akan terkejut ketika kita menemukan dua kelompok teori yang memang menghiasi jejak pemikiran hukum sepanjang sejarah.[2] Hanya saja perbedaan disini adalah terletak kepada titik tolak, dimana kelompok yang pertama melihat hukum sebagai unit aturan (tekhnis) yang tertutup dan formal-legalistik dan kelompok yang kedua melihat hukum sebagai sebuah unit terbuka dan menyentuh mosaik sosial kemanusiaan. Walau begitu dalam teorisasi hukum , keduanya merupakan dokumen penting, karena keduanya bisa kita bisa sebut sebagai sebuah dokumen yang berisi dan bercerita tentang pergulatan hidup manusia. Disitulah manusia mulai bergulat dengan dirinya sendiri dan dengan “kekuasaan-kekuasaan” disekitarnya. Kisah pergulatan manusia demikianlah yang bisa kita ketemui ketika menelusuri rimba teori hukum. Dan tak salah halnya ketika Wolfgang Friedmen dengan tegasnya berkata, bahwa teori hukum bergumul dengan beberapa antinomi, misalnya: alam semesta dan individu, kehendak dan pengetahuan, akal dan instuisi, stabilitas dan perubahan, positivisme dan keadilan, kolektivisme dan keadilan, demokrasi dan otokrasi, universalisme dan nasionalisme.[3]

Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Guna terciptanya ketertiban didalam masyarakat diperlukan suatu tatanan. Hukum sebagai salah satu bentuk tatanan disamping kebiasaan dan kesusilaan, berperan besar dalam terciptanya ketertiban. Hukum disini adalah hukum tertulis seperti peraturan perundang-undang, putusan hakim (jurisprudensi), perjanjian (traktat). Sehingga saat ini hampir seluruh negara di dunia ini menjadikan hukum sebagai landasan dasar dalam mengatur ketertiban masyarakatnya tak terkecuali Indonesia.

Perjalanaan reformasi selama hampir sebelas tahun ternyata menyisakan permasalahan yang sama dengan masa orde baru yaitu transparansi dalam penegakkan hukum. Hukum harus diposisikan sebagai panglima dalam tingkah laku kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Baik masyarakat, aparat pemerintah termasuk didalamnya aparat penegak hukum harus tunduk pada hukum tanpa adanya diskriminatif dan segala permasalahan hukum wajib diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku. Indonesia yang menegaskan dirinya sebagai negara hukum pasca amandemen UUD 1945 hingga hari ini (pasca reformasi) masih terus bergulat dalam rangka menciptakan penegakan hukum yang sesuai dengan cita-cita dan semangat rakyat. “Rusaknya” penegakan hukum di Indonesia merupakan wacana yang sudah bergulir sejak lama dikalangan para pemikir hukum.

Begitu banyak analisa dari berbagai sudut teori hukum yang ada diberikan oleh ahli hukum di Indonesia dalam rangka menyumbangkan pemikirannya. Ada yang menyalahkan sistem, ada yang menyalahkan para aparat penegak hukum dan ada yang menyebutkan karena kultur yang terlanjur lahir di bangsa ini. Namun apa daya, hukum di Indonesia seolah-olah belum mau beranjak dari “kursinya” selalu berada dibawah “kursi-kursi” lainnya. Sehingga penyelesaian berbagai kasus yang memiliki hubungan dengan kekuasaan dan politik, hukum masih mampu dibungkam. Nah saya mencoba menganalisis Kasus Hukum Bank Century, yang merupakan salah satu kasus besar yang masih belum terkuak hingga hari ini, kasus yang melibatkan pemerintah yang dalam hal ini mengambil kebijakan menggelontorkan dana 6,1 T. Adapun permasalahan ini saya menganalisisnya dari sudut pandang hubungan hukum dengan kekuasaan bukan pada substansi mekanisme kebijakan yang digunakan pemerintah tentunya dengan menggunakan teori hukum klasik yang diungkapkan oleh pemikiran filsuf Ionia yang melihat hukum sebagai tatanan kekuatan.

Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar memahami keterfokusan saya pada kasus ini. Pertama, kasus Bank Century berkaitan dengan dana yang besar, namun kontribusi terhadap masyarakat sangat kecil. Kedua, kebijakan bail-out hanya melibatkan satu pemerintahan dan berlangsung sangat singkat. Ketiga, DPR periode sebelumnya menggantung permasalahan tersebut beserta peraturannya. Keempat, kasus Bank century dapat dijadikan alat untuk menaikkan popularitas partai di kalangan masyarakat. Kelima, Pemerintah pada waktu dikeluarkannya kebijakan terpilih kembali paska Pilpres 2009. Keenam, kasus Bank Century oleh para politisi rival pemeritah saat ini, dipandang sebagai kolam ikan yang sangat menarik, sehingga banyak yang bermain. Kemenangan demokrat sebagai “penguasa” di parlemen sangatlah berpengaruh terhadap penuntasan kasus ini. Walaupun pada akhirnya DPR sebagai representasi rakyat memutuskan untuk menolak kebijakan ini dan ingin dituntaskan melalui jalur hukum. Namun seperti dinalai banyak kalangan, keputusan itu merupakan sebuah retorika belaka yang tidak menghasilkan apa-apa terlebih KPK sebagai lembaga yang katanya “independen” hanya diam tanpa suara untuk mengusut kasus ini. Seakan-akan KPK “berhutang budi” dengan pemerintah yang telah menyelamatkan pimpinannya pada kasus yang diduga kriminalisasi KPK.

Ada benang merah yang kuat dalam kasus penegakan hukum ini, khususnya mengenai hukum dan politik. Hukum dilihat sebagai sebuah tatanan kekuataan yang sangat mempengaruhi praktik ber-hukum. Dan inilah yang melatar belakangi saya membahas dengan menggunakan perspektif teori hukum sebagai tatanan kekuataan. Ada korelasi yang sangat kuat disini, dan menurut saya teori-teori hukum yang mengedepankan nilai kurang relevan untuk menjawab kasus ini. Dalam teorinya memang hukum memang merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.[4] Tetapi saya tidak sepakat dalam hal karena realitanya bertolak belakang dengan teori namun untuk saat ini saya sepakat dengan apa yang dikatakan salah seorang filsuf asal Jerman F. Nietzsche yang menentang ajaran plato, socrates yang mengedepankan tuntunan nilai terhadap manusia dalam berhukum. Manurut Nietzsche, manusia itu tidak dituntun oleh kehendak nilai dalam ber-hukum, namun aslinya ia akan dikendalikan oleh ‘kehendak yang kuasa” atau kehendak yang berkuasa. Semua yang ada dijagat raya ini berusaha eksis dalam keadaan bersaing untuk terus saling menguasai.

Hukum sebagai tatanan kekuatan merupakan teori dari barisan para filsuf Yunani sebelum abad ke 6 Masehi. Teori ini melahirkan pemikiran bahwa kekuatan adalah merupakan inti dari tatanan alam. Manusia sebagai bagian dari alam, tidak lepas dari hal tersebut. Hukum mencerminkan kosmologi tersebut. Hukum merupakan tatanan yang dikuasai logika kekuatan. Hukum adalah rumus-rumus untuk tetap bisa “survive” karena persoalan paling pokok dalam hidup manusia adalah sederhana yakni : “ada” atau “lenyap”. Dan ini berlaku untuk semua mahkluk hidup. Dalam kasus Century pemerintah dan partai pemerintah terkesan berusaha untuk menghalangi pengusutan kasus ini, karena kasus ini dinilai bisa menjadi boomerang terhadap pemerintahan dan peta politik selanjutnya. Dikhawatirkan akan menjatuhkan citra partai dalam pemilu selanjutnya yang tentunya ini akan melenyapkan Partai demokrat dari kursi kekuasaan kelak. Secara tidak langsung ada usaha keras untuk mempertahankan eksistensi “survive” Partai demokrat disini.

Jelas kiranya bahwa hukum dalam pandangan aliran ini, memungkinkan berlangsung hubungan arus kuat lemah. Karena dalam struktur sosial selalu ada pihak yang dominan, maka dimungkinkan hukum tersebut menjadi alatnya orang “kuat” dalam hal ini bisa kita artikan sebagai penguasa. John Austin, salah seorang pengikut teori positivisme Hukum yang juga merupakan seorang ahli hukum Inggris yang terkenal dengan ajaran analytical Jurisprudence menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya lansung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara, dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama. Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun jelas dirasakan tidak adil.[5] Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.[6] Lihat saja Partai demokrat yang menguasai mayoritas parlemen dan memenangkan pemilu presiden sudah mulai memanfaatkan kekuasannya secara “unlimited” walau tidak terang-terangan seperti pada masa orde baru, tetapi lebih terkesan dikemas secara laten (tersembunyi).

Dengan demikian dogmatik hukum (ilmu hukum positif), teori hukum, filsafat hukum pada akhirnya harus diarahkan kepada praktik hukum. Praktik hukum menyangkut dua aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum.[7] Kedua aspek tersebut diharapkan mampu mengatasi gejala hukum yang timbul dimasyarakat sebagaimana tertuang dalam dogmatik hukum.

DAFTAR BACAAN

Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta, 2009, hal. 9.

Bernard L Tanya, Yoan Simanjuntak, Markus Y.Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia

Lintas Ruang dan Generasi, Genta Pubilishing, Yogyakarta, 2010, hal. 1-2

Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010

Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya

Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 6



[1] Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009, hal. 9.

[2] Bernard L Tanya, Yoan Simanjuntak, Markus Y.Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Pubilishing, Yogyakarta, 2010, hal. 1-2

[3] Ibid.

[4] Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010

[5] Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 6

[6] Ibid

[7] Ibid, hal. 10.

0 komentar:

Posting Komentar